Sekilasindonesia.id, PASANGKAYU – Masyarakat Kabuyu tergabung dalam Komunitas Adat Suku Tado (KAST) sempat mengklaim lahan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan PT Mamuang yang berada diwilayah Dusun Wayambojaya, Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, Kabupaten Pasangkayu, Propinsi Sulawesi Barat (Sulbar).
Tanah ulayat yang diklaim masyarakat Suku Tado kini dibantah oleh pihak PT Mamuang melalui Community Development Officer (CDO), walaupun sebelumnya telah memasang spanduk bertuliskan “tanah ini adalah tanah ulayat komunitas adat suku tado dan segala yang berada diatas tanah ini adalah hak ulayat (sebelum tahun 1991 dikawasan ini adalah hutan ulayat). Dasar ulayat putusan MK nomor 35/PUU-X/2012. Undang-Undang yang menghormati hak ulayat, pasal 18B ayat 2 UUPA nomor 5/1960 pasal 5”.
CDO PT Mamuang tegas membantah tentang adanya klaim tanah ulayat oleh Suku Tado, Hermanto Rudi mengatakan, dalam proses pembukaan lahan PT Mamuang telah berjalan dengan prosedur yang benar, sehingga semua terlaksana clean and clear (bersih dan jernih).
“Pihak kami telah mensurvei dengan menyusuri sungai Pasangkayu, dan disitu memang terdapat ada sekitar 10 KK yang bermukim di pinggiran (Sungai Pasangkayu-red),”ucapnya sabtu 12/3/2022.
Menurut Rudi, bahwa lahan yang telah dikelolanya dan termasuk (lahan-red) pencadangan untuk pecahan 10 Kepala Keluarga (KK) dikeluarkan dari permohonan HGU PT Mamuang sebanyak 250 Hektar (Ha).
Sebanyak 250 Ha tersebut yang sudah dikelolah oleh Masyarakat Kabuyu tidak masuk dalam HGU PT Mamuang, berdasarkan kesepakatan antara pemohon HGU dengan Tim Penyedia Tanah Kabupaten Tingkat (TK) II Mamuju tahun 1994.
“Lebih jelasnya, di dalam HGU PT Mamuang tidak ada lahan Masyarakat Kabuyu, seperti apa yang telah diklaim oleh sekelompok orang, bahkan mengaku (Masyarakat Kabuyu-red), semua tidak berdasar sama sekali dan itu bisa menyebabkan terjadinya benturan, saya kira kedua bela pihak harus bersandar pada hukum,”katanya.
Salah satu contoh yang sangat disesalkan, seperti peristiwa yang terjadi akhir Februari lalu, dimana sekelompok orang mengaku Masyarakat Kabuyu dan (Masyarakat-red) dari Lalundu 2 dan 4, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala melarang karyawan bekerja di kebun PT Mamuang.
Mereka juga sempat memberhentikan sopir truk yang sedang mengangkut buah sawit perusahaan, bahkan pintu mobil truck tersebut digedor dengan keras dan meminta (sopir-red) untuk menurunkan Tandan Buah Segar (TBS) yang dibawa jauh dari lokasi penghadangan.
“Pasca kejadian penghadangan mobil truk 24 Februari, keesokan harinya supir tersebut membuat Laporan Polisi (LP) ke Polres Pasangkayu pada tanggal 25/2/2022 karena merasa ketakutan apa yang dialaminya,”jelas Rudi.
Selain itu, Rudi juga katakan, pihak PT Mamuang tidak melaporkan petani sebagaimana yang dituduhkan oleh akun facebook (FB) milik Frans di media sosial (medsos).
“Tuduhan oleh Frans adalah Hoax, PT Mamuang sangat menjunjung tinggi komitmen untuk taat pada hukum dan itu kita serahkan proses hukumnya ke penegak hukum,”tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Mantan Kepala Desa (Kades) Martasari, Timotius saat ditemui di kediamannya bercerita, bahwa dirinya menjabat Kades Martasari waktu itu di tahun 1994 bersamaan dengan kepengurusan HGU perkebunan PT Mamuang.
“Permohonan HGU tersebut, diajukan PT Mamuang di tahun 1994 dan diproses tim panitia penyedia tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju, tim melakukan peninjauan lapangan atau lokasi tanah yang dimohonkan menjadi HGU oleh perusahaan PT Mamuang, waktu itu dipimpin Asisten I Mamuju, Daniel Tammati,”urai.
Ia juga menyebutkan, saat itu ditemukan sebagian tanah telah dikuasai masyarakat Kabuyu yang dipergunakan untuk pemukiman, dimana lokasi tanah tersebut merupakan perkampungan Kabuyu dan lokasi perkebunan.
“Atas kesepakatan antara pemohon HGU dengan tim dari Kabupaten Mamuju, lahan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan juga dipergunakan untuk pencadangan lokasi sekitar 250 Ha dikeluarkan dari permohonan HGU,”sebut Timotius.
Menurutnya, kesepakatan itu dituangkan dalam berita acara tentang hasil peninjauan lapangan areal HGU PT Mamuang oleh tim dalam rangka pemberian rekomendasi HGU tanah tidak bermasalah.
Setelah kesepakatan ini dilaksanakan, pihak PT Mamuang mengeluarkan lahan seluas 250 Ha, maka dilanjutkan proses HGU ketingkat Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan, karena saat itu belum ada Provinsi Sulawesi Barat masih wilayah Sulsel.
“Seiring dengan pembukaan lahan (land clearing) dilakukan perusahaan PT Mamuang dengan membuka akses jalan kebun, maka lokasi perkampungan Kabuyu sangat mudah diakses,”ungkap Timotius
Selain itu, Timotius juga menjelaskan, dalam areal tanah HGU yang dimohon PT Mamuang itu tidak terdapat tanda – tanda penguasaan, kepemilikan, maupun penggunaan tanah oleh perorangan dan masyarakat setempat, karena merupakan tanah dikuasai langsung negara.
“Berdasarkan surat Kakanwil BPN Propinsi Sulawesi Selatan ditahun 1996, diterbitkan kepemilikan HGU kepada PT Mamuang sekitar 8.000 Ha,”katanya.
Timotius katakan, saat ini tidak lagi punya wewenang, namun sebaiknya kedua belah pihak antara masyarakat dan perusahaan duduk bersama membicarakan bagaimana membangun kemitraan agar saling menguntungkan.
“Saya kira keduanya (masyarakat dan perusahaan) harus membangun hubungan kemitraan, karena mau tidak mau, sampai kapanpun, mereka berdampingan antara komunitas masyarakat dengan pihak perusahaan,”paparnya.
Sambung Timotius, kalau toh kemudian kedua bela pihak ingin memastikan memiliki kekuatan hukum, maka perlu melalui jalur hukum, saya kira itu sangat bagus, namun alangkah baiknya untuk duduk bersama, agar selalu kondusif dan tetap suasana damai.
“Terkait yang diklaim sebagai tanah ulayat, saya tidak bisa memberikan komentar. Dan dari awal Dusun Kabuyu Tua itu tidak masuk dalam kawasan HGU PT Mamuang, alangkah baiknya kedua belah pihak untuk duduk bersama,”harapnya. (Roy)