PANGKALPINANG – Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk mendorong percepatan dan kemudahan investasi di Indonesia khususnya di daerah. Kemudahan investasi ini didukung dengan telah di resmikannya Online Single Submission (OSS) oleh Presiden Jokowi pada 9 Agustus 2021 yang lalu.
OSS diklaim sebagai salah satu sistem canggih untuk memudahkan mengurus perizinan usaha. Diharapkan dengan kehadiran OSS, bisa memudahkan masyarakat yang ingin menjadi pengusaha maupun mengurus perizinannya.
Kemudahan tersebut akan mendorong investasi dan meningkatkan serapan tenaga kerja sekaligus memberikan peluang besar dalam penguatan UMKM. Langkah untuk mencapai tujuan dimaksud tentunya akan berimbas pada pola dan arah tata kelola pemerintahan baik di pusat maupun daerah, terlebih dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal tersebut menjadi topik Focus Group Discussion (FGD) Implikasi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Terhadap Pola dan Arah Tata Kelola Pemerintahan Pusat dan Daerah Serta Pengaruhnya pada Perbaikan Pelayanan Publik yang dilaksanakan secara virtual oleh Kementerian Dalam Negeri RI, Senin (15/11/2021).
Kegiatan yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Wagub Babel), Abdul Fatah juga dihadiri oleh seluruh Kepala Daerah di Indonesia, Kepala/Perwakilan Dinas Penanaman Modal di Indonesia, kalangan akademisi, serta _stakeholder_ terkait lainnya.
Mailinda Eka Yuniza, Akademisi dari Universitas Padjajaran mengemukakan, Pasal 174 UU Cipta Kerja yang bunyinya, ‘Dengan berlakukanya undang-undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan presiden“, menurutnya harus disertai dengan penjelasan, sehingga nantinya tidak menimbulkan kekhawatiran tentang eksistensi desentralisasi.
Lebih lanjut dikatakannya, status quo tata kelola pemerintahan sebagai implikasi lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja meliputi empat garis besar perubahan ketentuan dalam Klaster Administrasi Pemerintahan pada UU Cipta Kerja.
“Empat garis besar perubahan tersebut diantaranya, kewenangan, diskresi, fiktif positif dan obligasi/sukuk. Pada aspek kewenangan dapat kita lihat keinginan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan obesitas regulasi, karena banyaknya aturan-aturan yang tumpang tindih,“ ujar Mailinda Eka Yuniza dalam paparannya.
Sedangkan diskresi menurutnya juga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No 30 tahun 2014 pasal 24, karena pada UU No 11 Tahun 2020 pada pasal 24 tentang ketentuan maupun syarat pejabat pemerintah yang menggunakan diskresi tidak lagi disebutkan demikian.
Sementara itu, Direktur Dekonsentrasi Tugas Pembantuan dan Kerjasama Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Dr. Prabawa Eka Soesanta meyebutkan bahwa, regulasi pasca UU Cipta Kerja di pemerintah pusat ada pada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri.
“Namun, terkait perda retribusi, perda kelembagaan, perda RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), perkada pendelegasian, dan perkada SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja), semuanya itu belum ada tindak lanjutnya di daerah,“ ujarnya.
Selain dari aspek regulasi yang perlu dilakukan perbaikan, menurutnya ada tiga aspek lain yang perlu ditindaklanjuti yakni, sistem/aplikasi, kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM).
“Untuk itu, pada aspek sistem/aplikasi perlu adanya integrasi sistem baik di pusat maupun di daerah dan perlu juga disosialisasi aplikasi/sistem kepada penyelenggara, masyarakat dan pelaku usaha. Pada aspek kelembagaan perlu dilakukan percepatan pembentukan jabatan fungsional khususnya pelayanan perizinan, dan mempercepat pembentukan kelembagaan yang mandiri dalam pelayanan perizinan. Sedangkan pada aspek SDM, perlu dilakukan pelatihan dan pendidikan sebagai aparatur, bimbingan teknis, serta mempercepat pembuatan standar kompetensi,” pungkasnya.
( Imelda/Budi)