JAKARTA – Selama 300 tahun atau lebih dari 3 abad, timah Kepulauan Bangka Belitung (Babel) diambil, tapi yang didapat oleh daerah itu ‘hanya’ royalti dari PT Timah sebesar 3%. Wajar saja seorang Gubernur Babel, Erzaldi Rosman membawa ‘suara’ rakyatnya ke Pusat untuk didengar, agar bisa menekan PT Timah memberikan royalti lebih, atas kerugian dan kerusakan alam yang dirasakan daerah tersebut.
Di hadapan Komisi VII DPR RI, Gubernur Erzaldi berkata, “Kami harapkan ke Pemerintah Indonesia untuk berikan saham sebesar 14% dan tambahan royalti,” saat beraudiensi di Komisi VII DPR RI di Gedung Nusantara I, Rabu (07/04/2021).
Wajar jika masyarakat Babel meminta lebih, karena setidaknya 350 tahun atau 3 abad alam dikeruk, namun yang didapatkan oleh daerah kurang sebanding.
Gubenur Erzaldi atas nama masyarakat Babel meminta royalti dari PT Timah Tbk dinaikkan dari saat ini hanya 3% menjadi 10%. Bahkan tidak hanya soal royalti, Pemprov. Babel juga meminta agar ada kepemilikan saham sebesar 14% di PT Timah.
Bayangkan saja, lahan kritis akibat aktivitas penambangan timah di Babel menyentuh angka 16,93% atau 278.000 Ha. Hal tersebut merupakan salah satu pemicu musibah banjir, tanah longsor dan imbasnya, mengakibatkan rusaknya infrastruktur jalan, jembatan, pemukiman, dan lahan-lahan usaha pertanian.
Pemerintah beserta masyarakat harus menanggung beban dan biaya yang besar akibat dampak dari bencana banjir, tanah longsong yang kerap terjadi. Ironis, daerah yang wilayahnya memiliki kekayaan alam bijih timah terbesar di Indonesia, seharusnya kaya dan sejahtera, malah kenyataanya bergumul dengan permasalahan, baik bencana alam dan konflik sosial.
“Kami masyarakat Babel berharap diberikan hak hibah saham 14% PT Timah Tbk milik Pemerintah Pusat serta kenaikan royalti timah 10% untuk masa depan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di Bangka Belitung,” ungkap Gubernur Erzaldi.
Pria yang disapa masyarakatnya dengan panggilan Bang ER, mengatakan Babel dikaruniai sumber daya alam mineral timah. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi Babel yang berkapasitas fiskal rendah. Sehingga baik provinsi, kota, dan kabupaten kesulitan membuat kebijakan, karena permasalahan dana yang minim.
“Kami rela alam kami dieksploitasi bagi bangsa dan negara, meski miris rasanya ketika daerah kami dengan sumber daya alam berlimpah ini tidak sebanding dengan apa yang kami dapati,” ungkapnya, agar Pemerintah RI selaku pemilik saham sebesar 65% di perusahaan plat merah, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), tergerak untuk menghibahkan 14% saham kepada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Terlebih lagi, Pemprov. Babel tidak tercatat sebagai pemegang saham, sehingga tidak memiliki hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Timah Tbk.
Akibatnya, semua saran dan masukan, sinkronisasi kebijakan serta program antara Pemprov. Babel dan PT Timah Tbk menjadi kurang efektif. Pengawasan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi kepada PT Timah Tbk juga tidak dapat dilakukan secara optimal.
“Kami berharap Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, DPR RI, Pemprov. Babel dan DPRD Babel untuk duduk bersama, memberikan solusi agar pertambangan di Babel ini berimbas baik terhadap pembangunan Provinsi Babel itu sendiri,” ucapnya.
Di samping itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2019, tarif royalti logam timah ditetapkan hanya sebesar 3%. Bandingkan dengan royalti hasil pertambangan lain, seperti royalti batu bara 7%, bijih besi 10%, bijih nikel 10%, emas 5%, perak 3,25%, dan bauksit 7%. Oleh karena itu, seiring dengan target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) Minerba yang cenderung meningkat setiap tahunnya, maka Bang ER mengusulkan agar royalti dinaikkan menjadi 10%.
“Hal ini penting, karena kapasitas fiskal Babel masih rendah, naif rasanya apabila daerah kami sebagai salah satu daerah penghasil SDA yang tinggi, tidak mendapatkan hak yang layak. Sehingga wajar kami meminta hak kami untuk membangun daerah, peluang yang paling cepat yakni royalti yang minta dinaikkan, karena selama ini hanya 3%,” ungkapnya.
Gubernur Erzaldi juga menambahkan, penerimaan Babel dari PNBP SDA (sumber daya alam) ada dari iuran tetap, landrent, dan royalti. Sedangkan khusus untuk royalti, masanya sudah lama dan tidak pernah berubah persentasenya.
Dia juga meminta Pemerintah Pusat mengeluarkan aturan larangan ekspor untuk bahan baku logam timah dalam rangka mendorong industrialisasi dan peningkatan nilai tambah mineral bagi Babel, serta memperketat pengawasan ekspor logam tanah jarang.
DPR RI Menanti ‘Kicauan’ Dari Dapil Babel
Sementara itu Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan terkait aspirasi tersebut, Komisi VII DPR RI akan menindaklanjuti dalam Rapat Kerja atau Rapat Dengar Pendapat dengan mitra terkait, dalam hal ini Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN.
“Secepatnya, saya akan tindaklanjuti dengan mengundang Menteri Keuangan dan Mentri BUMN melalui rapat lintas komisi untuk penyelesaian persoalan ini,” ujarnya.
Ketua Komisi VII Sugeng juga meminta Anggota DPR RI Dapil Bangka Belitung, yakni Rudianto Tjen, Bambang Patijaya, dan Zuristyo Firmadata untuk mengawal aspirasi ini hingga menghasilkan kebijakan yang dapat menguntungkan bagi semua pihak.
Mengenai royalti, Anggota VII DPR RI, Bambang Patijaya mengatakan PT Timah dapat mengalami kenaikan biaya produksi yang diakibatkan kenaikan royalti, maka dirinya mengusulkan adanya royalti berjenjang.
“Misal harga pokok produksi 18.000 dolar, tetapi apa bila harga di atas angka tersebut, maka jelas PT Timah sudah mendapatkan keuntungan, sehingga bisa saja dinaikkan 10 persen royaltinya, sehingga semua pihak senang,” katanya.
Staf Khusus Gubernur Babel, Safari ANS mengatakan sebesar 3% dari royalti yang diterima sebesar 20%-nya diperuntukkan untuk Pusat, sehingga jika royalti yang diberikan naik menjadi 10%, tidak hanya berdampak pada pemerintah daerah, namun Pemerintah Pusat.
“Kerusakan lingkungan kami sudah paling parah di antara semua provinsi yang ada di Indonesia, karena PT Timah menambang sejak zaman Belanda sekarang sudah 300 tahun lebih gak pernah berhenti,” ungkapnya.
Dilanjutkan Gubernur Erzaldi, pihaknya sedang membuat transformasi daerah dari pertambangan ke pariwisata. Meski demikian, menurutnya bukan berarti Babel menolak tambang timah.
“Kalau timah gak ada lagi, dari mana sumber kami untuk membangun. Ini pertimbangan kami ketika ajukan ini secara terbuka kepada Pemerintah RI,” jelasnya, agar Pusat bisa mengabulkan permohonan rakyat Babel kepada perusahaan yang didirikan pada 2 Agustus 1976 itu.
Sekedar untuk diketahui, dari laporan keuangan saham timah atau TINS 2020 mengungkapkan, sebagai pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Grup TINS memiliki kewajiban di antaranya membayar royalti, iuran tetap, dan iuran lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Laporan per Desember 2020, saham Seri A TINS dipegang Pemerintah RI 1 lembar, sementara saham Sesi B dipegang Mining Industry Indonesia (MIND ID) atau PT Inalum sebesar 65%, dan publik 35%.
Penulis : Budi