OPINI – 2020 di tutup rentetan kasus serba-serbi tak terprediksi. Namanya juga tak terprediksi, pasti di luar pikiran tapi hal tersebut bagi sebagian khalayak saja namun bagi yang terlibat secara “emosional” itu bukan lagi berita yang mengejutkan.
Pengangkatan menteri baru oleh Jokowi yang tak terprediksi oleh penggemar, sebelum itu pemberitaan Kasus teriak “Lonte”yang fenomenal, hingga pembubaran Ormas dengan dengan berbagai gimik seperti “ G/30 Des/Pem.FPI” tak sedikit juga mengaitkan dilengserkannya Gus Dur dan beberapa Meme-meme lainnya yang meredupkan pemberitaan nasional yang efeknya justru sangat signifikan dengan keberlangsungan hidup masyarakat.
Tentu kejadian-kejadian yang telah menimpa +62 membuat sebagaian khalayak mengerutkan dahi. Terlebih lagi bagi fans HRS yang sebagian besar bagian dari oposisi cabinet Indonesia maju, mosi tak percaya dan di luar dugaan menghantam dan berkecamuk “tak terekspresikan” (karena adanya SKB yang bertalian dengan FPI).
Lebih tak terprediksinya lagi deretan kasus tersebut “masuk angin” dengan pemberitaan penetapan GA sebagai tersangka dalam kasus Pornografi dan kusus ini bergulir ba’kan musim hujan di awal tahun 2021.
Kasus GA membanjiri laman media social khalayak seolah value social hanya tentang moral seks belaka bahkan bermunculan Meme “menikahlah dengan perempuan yang ketika ada masalah ia lari ke Tuhan bukan ke laki-laki lain”.
Viralnya Meme tersebut seolah mengamini penggambaran masyarakat +62 sebagai condong beragama secara “pragmatis”. Mari menengok kasus-kasus yang menimpa yang telah lalu. Agama dipaksakan turut andil dalam melihat permasalahan yang mengaburkan permasalahan yang sebenarnya.
Masalah GA membuat netizen beralih profesi sebagai penasehat yang bijak terkait pernikahan.
Hal yang tak diprediksikan oleh yang lain dalam kasus Meme pernikahan GA dan Gading adalah seolah khalayak mengharuskan solusi dari masalah adalah Tuhan, ditambah postingan GA yang tetiba berbaur isi alkitab. Namun ada kesan yang tak dilirik oleh mereka yakni penempatan cara beragama seolah melampiaskan permasalahan pada Tuhan.
“Menikahlah dengan perempuan yang ketika ada masalah ia lari ke Tuhan bukan ke laki-laki lain”. Coba perhatikan kalimat yang digaris bawah kemudian kaitkan dengan sederetan peristiwa yang menghampiri, bukankah kemesan semua peristiwa yang terjadi mengarah lingkaran dari bumbu agama dan Tuhan?
Manusia pada hakikatnya “beragama dan bertuhan” dan hal yang wajar jika ia mengadu pada Tuhan tapi apakah ia seluruh masalah yang menimpa harus diselesaikan dengan melampiaskan atas nama Tuhan? Jika apa yang digambarkan oleh media maka jawabannya adalah ia, maka tak usah repot mempertanyakan kapan pandemic akan berakhir beserta regulasi yang tepat, tak usah mencopot manteri karena korupsi.
Hal yang tak terprediksikan bukan? Zaman ini, manusia seiring bergulirnya waktu tanpa disadari mengalami “fase corak beragama” namun itu bukanlah inti yang ingin disampaikan, akan tetapi bagaimana menyikapi peristiwa yang dikemas dan dikonsumsi oeh khalayak. Terlebih hal yang mana urgent antara menyangkut keberlangsungan hidup rakyat atau gimik yang menarik dan menutupi hal yang Anomaly, anomaly yang berkepanjangan.
Penulis : Sultriana (Akademisi UIN Alauddin Makassar)