OPINI, SEKILAS INDONESIA-Hari Ayah Nasional (12 November) mungkin kalah populer dengan Hari Ibu. Hal seakan mengindikasikan bahwa realitas pengasuhan anak masih dibawah kendali ibu. Padahal, dampak ketimpangan itu cukup memberikan pengaruh besar.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi., mengungkapkan, secara garis besar anak butuh perhatian berimbang dari ayah maupun ibu. Tujuannya agar mereka merasa dicintai, diinginkan, dan dihargai keberadaannya oleh ayah maupun ibu mereka.
“Jika timpang, gangguan perilaku seperti menjadi agresif mungkin terjadi,” ungkapnya (Tirto.id).
Sara McLanahan dkk (2014) dalam penelitiannya menemukan efek negatif ketidakhadiran ayah terhadap keterampilan sosial-emosional anak.
Hasil pengamatan mereka menunjukkan para remaja yang dulunya memiliki hubungan renggang dengan sang ayah, lebih memiliki risiko untuk mengembangkan perilaku negatif, seperti merokok atau punya anak di usia belia.
Semakin dini usia sang anak saat ditinggal ayahnya, akan memberikan dampak semakin besar, terlebih kepada anak perempuan.
Penelitian tersebut juga memperkuat penelitian Abdul Khaleque dan Ronald P. Rohner (2011) bahwa anak yang mendapat penolakan dari ayahnya berisiko menunjukkan perilaku agresif.
Selain itu, sang anak menjadi lebih mudah memusuhi orang lain dan cenderung merasa rendah diri.
Harus pula diakui ketimpangan peran pengasuhan membuat anak-anak kita banyak terlibat dengan kriminalitas.
Pencurian, perampokan, pemerkosaan dan bahkan tak jarang melakukan pembunuhan. Data dari Komnas Perlindungan Anak (KPA), Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya.
Jika demikian, lantas siapa yang salah?. “Jika diamati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah”, ungkap Ibnu Qoyyim.
Tanpa mengenyampingkan hal-hal diluar dari itu, pengaruh terbesar dalam hidup anak terletak pada orang tuanya. Selama ini pemahaman dan kebiasaan di tengah masyarakat kita, mendidik dan mengasuh anak adalah tugas seorang ibu.
Ayah hanya membantu saja, namun ibulah yang harus mendidik anak sepenuhnya. Padahal kedua belah pihak memiliki beban serta tanggung jawab yang seimbang dalam mendidik dan mengasuh anak, karena pada dasarnya anak memerlukan sentuhan pendidikan, pembinaan, pengasuhan dari kedua orang tua.
Oleh Sarah binti Halil bin Dakhilallah Al-Muthiri dalam tesisnya Hiwar Al- Aba’ Ma’a Al-Abna Fil Qur’anil Karim wa Tathbiqatuhu At-Tarbawiyah (Dialog Orang Tua dengan Anak dalam Al-Quran Karim dan Aplikasinya dalam Pendidikan), menjelaskan Al-Qur’an memuat dialog orang tua dengan anak dalam 17 tempat yang tersebar di 9 surat.
Perinciannya, dialog ayah dengan anak sebanyak 14 tempat, dialog ibu dengan anak sebanyak 2 tempat, dialog kedua orang tua dengan anak (tanpa nama) sebanyak 1 tempat. Sehingga, ayah harus lebih banyak berkomunikasi dengan anaknya.
Ayah: Kepala Sekolah
Rumah tangga ibarat sekolah. Ayah mengambil peran kepala sekolah yang memegang segala bentuk kebijakan, menentukan kurikulum, penentuan visi dan misi, evaluasi dan menegakkan aturan dalam institusi keluarganya.
Meskipun ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, namun tanpa kehadiran kepala sekolah, maka sekolah itu tidak punya orientasi.
Peran ayah sebagai kepala sekolah juga menempatkannya setara dengan ibu dalam hal mendidik.
Realitasnya? banyak madrasah yang tak punya kepala sekolah. Hal ini disebabkan oleh ayah yang tak paham dengan perannya, sehingga ibu yang mengurus anak seorang diri tanpa orientasi, arahan bahkan bimbingan dari kepala sekolah.
Begitu pun dampaknya kepada anak, sebagai siswa didikan tak akan merasakan kehadiran kepala sekolahnya yang mengurus pertumbuhan mereka secara fisik, psikis maupun spirtual.
Mari Perbaiki
Dua tahun yang lalu, saya diamanahi menjadi pembina salah satu TPA di Makassar. Salah satu tugasnya membuat kegiatan Pertemuan Orang Tua Santri (POS) setiap bulannya, seperti kelas parenting bisa dibilang.
Kami selalu mengundang pemateri untuk memandu orang tua santri dalam membina anak-anaknya. Selama setahun berjalan, sosok ayah hampir tak pernah ditemukan mengikuti pertemuan tersebut. Padahal kami telah mengundang kedua orang tua santri untuk hadir.
Jangan sampai kita menjadi ayah yang “gagal”, ujar Ust. Bahtiar Natsir. Kita banyak berhasil membesarkan badan anak kita, tetapi jiwa anak-anak kita diambil oleh orang lain”, tandasnya.
Prespektif kita tentang sosok ayah yang hanya pencari nafkah semata agar dapur terus mengepul, kini harus berbenah lagi.
Misalnya kita sebagai generasi milenial harus persiapkan diri agar menjadi ayah yang sebaik-baiknya ayah bagi anak kita.
Tak ada lagi alasan untuk tidak lagi belajar, ditengah mudahnya akses terhadap literatur-literatur parenting. Mulai dari video hingga berbagai aplikasi parenting lainnya, tinggal di-browsing dan diunduh di smartphone kita.
Sebagai penutup cinta pertama anak harus jatuh kepada ayahnya, terlebih anak perempuan. Sebab hanya sedikit dari ayah-ayah kita yang jadi cinta pertama anak-anaknya.
Hanya ayah yang mau meluangkan banyak waktu yang akan mampu membuat anaknya jatuh cinta kepadanya.
Kita tentu tak mau jika anak kita telah yatim sebelum waktunya, anak seolah kehilangan sosok kunci dalam keluarganya lebih cepat. Semoga saja tidak seperti itu.
Selamat Hari Ayah Nasional….!!!
Penulis : Muh. Taufiq Al Hidayah (Mantan Pengurus Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al Jami’ UIN Alauddin Makassar)
Editor : AR