OPINI – Ditengah situasi yang tidak menentu seperti sekarang ini, dimana statistik penyebaran Covid-19 semakin meningkat dari hari ke hari sehingga rasa was-was dan kekhawatiran akan dampat dari virus tersebut terus menghantui masyarakat.
Berbagai langkah dan upayapun terus digalakkan pemerintah. Hanya saja, semua langkah dan upaya tersebut seakan tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan ketika dilihat dari angka dan data yang ada.
Hal tersebut sebagai imbas dari belum selarasnya antara upaya pemerintah dan kesadaran masyarakat itu sendiri dalam mensukseskan program penaggulangan dan pencegahan wabah Covid-19.
Salah satu sebabnya adalah masalah sentimen agamaatau dengan kata lain egoisme dalam beragama. Dalam kondisi darurat seperti sekarang ini, masih ada saja yang mencoba untuk mebenturkan antara agama dan negara. Seakan-akan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu untuk mematikan agama.
Misalnya saja dalam hal kebijakan peniadaan kegiatan keagamaan untuk sementara waktu. Seperti shalat jum’at, shalat berjamaah, dan pengajian. Berbagai macam dalih pun digunakan untuk menentang hal tersebut. Begitu sangat jelas terlihat, bagaimana egoisme beragama masih merajai.
Sebagai pengingat untuk kita semua, dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba menyajikan sebuah ulasan yang ditulis oleh Ahmad Rifa’i Rif’an dalam bukunya yang berjudul Generasi Empati. Dengan harapan, semoga ulasan ini dapat sedikit membuka kesadaran kita sekaligus mengikis egoisme beragama kita dalam menghadapi situasi pandemik sekarang ini.
Kepasrahan
Tawakal merupakan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah atas segala persoalan dalam hidup kita. Orang yang bertawakal sesungguhnya memiliki ketauhidan yang tinggi. Tanpa ketauhidan, dia tidak akan memiliki kepasrahan kepada Allah. Keyakinan yang tinggi kepada Allah-lah yang pada akhirnya melahirkan sikap mental tawakal.
Sudah selayaknya kita memiliki sikap tawakal, karena kita tidak memiliki pengetahuan seperti pengetahuan Allah. Artinya, Allah yang paling tahu atas segala yang baik bagi kehidupan kita.
Allah yang mengciptakan semesta, Allah Mahatahu bagaimana masa lalu dan masa depan kita. Lalu apa yang menyebabkan kita ragu untuk menyerahkan diri pada Zat yang Mahatahu ?
Tawakal akan melahirkan pribadi yang pikirannya tenang, hatinya tentram. Tidak ada buruk sangka kepada Allah. Bukankah saat mendapatkan kegagalan ada banyak orang yang tidak terima lantas menyalahkan ketetapan Allah ? Dia menyangka bahwa Allah tidak mengabulkan pintanya. Dia mengira Allah mengabaikan usaha dan kerja kerasnya. Dia berpikir bahwa Tuhan tidak adil kepadanya.
Padahal bisa jadi kegagalan itu justru adalah takdir terbaik baginya. Bisa jadi tidak berhasilnya saat ini justru menjadi sesuatu yang sangat disyukurinya di masa depan. Bisa jadi ini adalah ini adalah jawaban atas doa-doanya. Allah mungkin justru hendak memberi hadiah lebih baik daripada yang dia impikan saat ini.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 126).
Tawakkal Yang Disalah pahami
Ada sebagian orang yang salah dalam memahami makna tawakal. Tawakal dimaknai sebagai kepasrahan mutlak yang dengannya justru menjadikannya manusia pasif, tidak sungguh-sungguh melakukan upaya, dengan dalih, “Saya pasrah kepada Allah, kalua Allah memberi saya keberhasilan, pasti saya akan berhasil. Meskipun saya bekerja keras, kalau ternyata Allah berkehendak saya gagal, pasti saya akan gagal.”
Pemahaman seperti ini yang menjadikan manusia tidak mau berusaha terlebih dahulu. Padahal makna tawakal yang sesungguhnya bukanlah penyerahan mutlak kepada Allah. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Quraish Shihab dalam buku Secercah Cahaya Ilahi,Hidup Bersama Al-Qur’an, dalam hal menjadikan Allah sebagai wakil atau brtawakal kepada Allah, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Tawakal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului usaha manusiawi.
Tentang tawakal, kita diberi keteladanan berupa kisah yang sangat masyhur, yaitu kisah seorang sahabat Nabi yang menemui beliau di masjid tetapi tidak menambatkan untanya terlebih dahulu. Nabi pun menanyakan kepadanya tentang sikapnya tersebut. Ia lantas menjawab, “Aku telah bertawakal kepada Allah.” Mendengar jawaban darinya, Nabi pun meluruskan pemahamannya yang sudah keliru tentang tawakal. “Tambatkan terlebih dahulu (untamu),” kata Nabi, “setelah itu bertawakallah.”
Tugas manusia berusaha semaksimal mungkin. Bersikap tawakal bukan berarti meniadakan ikhtiar. Justru manusia dinilai dari proses menanggapi sesuatu. Sementara urusan hasil, biarlah menjadi urusan Tuhan. Menusia mengupayakan, Allah yang menentukan. Upaya manusia itulah yang dinilai Tuhan.
***
Ulasan diatas jika kita coba korelasikan dengan kondisi sekarang ini, maka perlu memang kiranya kita meninjau ulang bagaimana pemaknaan kita tentang tawakal. Jangan sampai kita menjadi salah kaprah. Karena menjadikan Allah sebagai wakil dalam suatu urusan itu sangat berbeda dengan kita menjadikan manusia sebagai wakil.
Ketika kita berwakil kepada manusia, maka mutlak segala urusan kita dipasrahkankepadanya. Intinya kita sisa menunggu hasil saja. Namun ketika berwakil kepada Allah, maka kita harus berusaha sendiri. Memaksimalkan segala potensi yang kita miliki.
Setelah semua potensi dimaksimalkan, barulah kita berpasrah kepada Allah atas hasil dari usaha kita.
Kita bertawakal (berpasrah diri) kepada Allah atas musibah Covid-19 yang melandah sekarang ini, yang berarti bahwa kita juga harus mengoptimalkan segala sumber daya yang kita miliki untuk memeranginya.
Salah satunya adalah dengan mengikuti seluruh prosedur penanganan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Karena itu adalah bagian dari ikhtiar dan usaha kita.
Dalam setiap sujud dan ibadah kita kepada Allah, senantiasa kita selipkan doa, memohon agar wabah ini segera berlalu. Seiring itu pula jumlah korbannya semakin bertambah. Kenapa bisa demikian ?
Boleh jadi karena Allah belum melihat adanya usaha yang sungguh-sungguh yang kita lakukan. Masih banyak diantara kita yang bertingkah congkak dan pongah dalam menyikapi status pandemik dari Covid-19.
Ironisnya, selain merasa pongah, juga masih mudah termakan dengan hoaks. Seperti informasi yang viral di jagat maya misalnya. Secara berantai tersebar kepada masyarakat bahwa dengan memakan dua biji telur rebus maka itu bisa menangkal virus corona.
Masyarakat percaya lantaran ada seorang bayi yang katanya baru lahir dan langsung berbicara dan mengatakan bahwa telur rebus bisa jadi penagkal. Hal ini lagi-lagi membuktikan bahwa masyarakat masih lebih percaya terhadap informasi yang tidak berdasar ketimbang apa yang disarankan oleh pemerintah.
Mari kita coba belajar dari sebuah cerita, dimana dalam suatu negeri yang sedang dilanda kekeringan yang berkepanjangan, lalu seluruh penduduk negeri tersebut sepakat untuk melaksanakan shalat Istisqa dan agar segera diturunkan hujan.
Namun dari sekian banyak orang yang hadir untuk melaksanakan shalat, hanya ada satu orang yang datang ke tempat shalat Istisqa membawa payung karena dia percaya bahwa dengan keyakinan yang penuh dan disertai usaha yang maksimal maka Allah akan mengabulkan permohonanya.
Makanya dia dating membawa payung karena yakin setelahnya akan segera turun hujan sekaligus membuktikan kepada Allah bahwa diri sangat bersungguh-sungguh meminta diturunkan hujan.
Demikian pula halnya dengan Virus Corona ini, kita pasrahkan diri kita kepada Allah agar dijauhkan dan memohon agar wabah ini segera beralalu, maka tentu harus disertai dengan kesungguhan kita didalamnya. Sebagai bukti kesungguhan kita adalah dengan menjalankan anjuran pemerintah untuk mengurangi aktivitas diluar rumah, tidak melakukan perkumpulan atau dengan kata lain melakukan Physical Distancing. Meniadakan sementara waktu shalat jum’at, berjamaah dan kegiatan lainnya yang mengundang keramaian.
Tidak asal berpasrah tapi malah jadi salah kaprah. Akibatnya bisa kita lihat sendiri. Karena tidak mengindahkan instruksi pemerintah, kurang lebih 300(tiga ratus) jamaah masjid di Jakarta Barat harus menjalani karantina massal karena setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan 3 (tiga) dari jamaah positif terjangkit.
Semoga dari kejadian tersebut dapat mengembalikan kesadaran kita untuk lebih patuh kepada pemerintah karena hal tersebut juga merupakan perintah agama. Sebagaimana dalam kaidah fikih, menolak keburukan/mudarat harus didahulukan dari pada mencari kemaslahatan. Dengan kita mengindahkan arahan pemerintah untuk melakukan Physical Distancing juga adalah bagian dari menajalan kaidah fikih tersebut.
Mari, bersama kita perangi wabah Covid-19 ini dengan bersama-sama mendukung segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk ikhtiar kita. Berpasrah kepada Allah dengan sebenar-benarnya pasrah agar tidak berujung salah kaprah yang pada akhirnya membawa kerugian bukan hanya untuk diri kita tapi juga orang lain.
Wallahu ‘alam.
Penulis : Syahrul Affandi (Penghulu KUA Kec. Tana Lia)