OPINI – Beberapa pekan yang lalu masyarakat dihebohkan dengan pernyataan kontroversi dari Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty. Ungkapan yang dilontarkan Hikma ke media adalah tentang potensi perempuan hamil jika berenang di kolam renang.
“pertemuan yang tidak langsung misalnya, ada sebuah mediasi di kolam renang. Ada jenis sperma tertentu yang sangat kuat walaupun tidak terjadi penetrasi, tapi ada pria yang terangsang dan mengeluarkan sperma dapat berindikasi hamil. Kalau perempuannya sedang fase subur itu (hamil) bisa saja terjadi”, kata hikma dalam video yang beredar di media sosial yang dilansir oleh m.cnnindonesia.com
Pernyataan kontroversi tersebut menjadi viral dan banyak dibicarakan oleh publik. Hikmapun pada akhirnya sudah meminta maaf atas kegaduhan yang dibuat serta menyatakan itu merupakan pernyataan pribadi bukan atas nama lembaga KPAI.
Namun akibat peryataan Teori Hamil di Kolam Renang membuat KPAI menjadi bulan-bulanan publik terutama citizen, hingga muncul trending topik di twitter dengan #sarjanasperma.
Sarjana Sperma
Sarjana sperma tidak hanya viral di dunia maya yang kemunculannya untuk menanggapi Teori Hamil di Kolam Renang, kenyataanya pada dunia nyata Sarjana SPERMA memang ada dan seharusnya ini menjadi ironi dan aib bagi masyarakat dan dunia akademisi khususnya.
Sarjana SPERMA dalam dunia nyata merupakan para lulusan Perguruan Tinggi yang menjadi sarjana dan memillih menjadi Sarjana SPERMA (SPEsialis Rampok MAsyarakat). Para alumni PT yang menjadi Sarjana SPERMA merupakan mereka yang melakukan korupsi ketika mereka menjadi pejabat atau memiliki posisi strategis di pekerjaanya baik di pemerintahan ataupun di swasta.
Data KPK dan Litbang Kompas
Dilansir dari kompas.com (15/05/2019) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif mengungkapkan, sebagian besar pelaku korupsi merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Data KPK soal pelaku korupsi Indonesia sejak 2004-2015 ditemukan bahwa 86 persen koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi.
Pada peringatan hari Antikorupsi Sedunia (9/12/2019) dilihat dari profilnya, kepala daerah lulusan sarjana (S1) menjadi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi paling banyak versi analisa yang dilakukan Litbang Kompas. Analisis dilakukan terhadap 139 perkara yang melibatkan 121 kepala daerah yang ditangani KPK. Data Litbang Kompas tersebut diolah dari data KPK yang dilansir oleh kompas.com.
Hasilnya adalah berdasarkan 117 data kepala daerah yang dapat diolah dari 121 data yang dapat dihimpun menunjukkan bahwa, 50 kepala daerah diantaranya atau sekitar 42,6 Persen memiliki latar belakang S1.
Dampaknya
Rimawan Pradiptyo pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah tak hanya berdampak pada pembagunan yang kurang optimal dan pelayanan publik yang kurang memadai. Lebih dari itu, masyarakat juga turut menanggung beban dari dana yang telah dikorupsi penyelenggara Negara, termasuk kepala daerah.
Berdasarkan data kajian FEB UGM, kerugian Negara akibat korupsi dalam kurun 2001-2015 mencapai Rp. 203, 9 Triliun, sementara, total hukuman financial kepada para koruptor hanya Rp. 21,26 triliun atau sekitar 10 persennya. Maka selisih kerugian tersebut akan membebani masyarakat.
Peran Serta Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi seharusnya tidak hanya memasukkan kurikulum antikorupsi didalam pengajarannya, melainkan perlunya menciptakan iklim antikorupsi dalam kehidupan kampus dengan melakukan sinergitas antara para Dosen, Civitas Akademika danMahasiswa serta Masyarakat dalam memupuk nilai-nilai antikorupsi dalam iklim dunia kampus. Kampus perlu mengimpelemtasikan selogan “BerJumPA Di Kertas”, yakni : Berani, Jujur, Mandiri, Peduli, Adil, Disiplin, Kerja Keras, Tanggung Jawab, dan Sederhana.
Jangan lagi ada Alumni PT yang menjadi Sarjana SPERMA (SPesialis Rampok MAsyarakat) yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Apalagi Indonesia saat ini sudah menjadi Negara Maju setelah Presiden AS Donald Trump mencabut status Negara Indonesia dari negara berkembang.
Penulis : Syaiful Rizal (Akademisi dan Praktisi Anti Korupsi)