OPINI, SEKILASINDO.COM- Beberapa hari lalu media-media nasional ramai-ramai memberitakan Finance Technology (Fintech) pembiayaan (Peer to Peer Lending) “nakal” yang banyak meresahkan. Bagaimana tidak, seorang Ibu dua anak asal Solo YI (50) yang berutang pada Fintech InCash dibuatkan meme berisi tulisan: “Dengan ini saya menyatakan bahwa saya rela digilir seharga Rp1.054.000 untuk melunasi hutang saya di aplikasi InCash. Dijamin puas yang minat segera hubungi.” Kabar ini disebar dalam grup WhatsApp. Merasa dilecehkan, Ibu YI bersama pengacaranya melaporkan fintech InCash ke polisi.
Dalam kasus-kasus lain, fintech juga meminta nasabahnya untuk menari telanjang, diancam dibunuh, dipecat dari perusahaan sebab menagih utang ke atasan, menagih ke rekan kantor yang membuat malu, hingga upaya bunuh diri akibat bunga pinjaman yang mencekik. Jumlah kasus seperti ini kian membengkak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta seperti dikutip Bisnis.co selama periode 4 – 25 November 2018 telah menerima 1.330 aduan masyarakat terkait dengan praktik P2P lending bermasalah. Aduan tersebut datang dari hampir seluruh daerah di Indonesia. Pengacara LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan permasalahan utama dalam pelanggaran ini adalah minimnya perlindungan data pribadi nasabah yang melanggar hak privasi seseorang.
Fintech illegal juga sangat sulit diatasi karena tidak ada aturan yang melarang. Dikutip dari kompas hingga Jum’at (2/8/2019) Satuan Tugas Waspada Investasi telah meblokir fintech P2P Lending 1.230 entitas ilegas, namun bisnis ini makin menjamur. Sejak Januari 2019, sebanyak 826 telah diblok, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya 404 entitas.
Deretan kasus di atas sebenarnya kurang begitu “mengenakkan”, ditengah upaya kita memfamilerkan fintech kepada masyarakat. Keniscayaan fintech sangat membantu masyarakat yang kesulitan mengakses pembiayaan, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) misalnya, kehadiran fintech membantu mereka untuk mendapatkan modal dengan cepat, daripada akses ke perbankan yang relatif sulit.
Laporan tirto.id hanya 20% kredit bank yang mengalir ke UMKM, meskipun secara statistik BI menunjukkan grafik peningkatan. Selain itu, porsi pembiayaan usaha yang diberikan perbankan ternyata masih jauh kecil jika dibandingkan dengan pembiayaan yang disalurkan kepada perusahaan besar/non UMKM. Kondisi ini menujukkan bahwa perbankan masih menganggap UMKM lebih beresiko dibanding usaha besar. Ini sekaligus membuktikan bahwa UMKM belum dianggap memiliki prospek pengembangan usaha yang baik (unbanked).
Untuk diketahui
Masyarakat yang ramai-ramai meminjam di platform fintech pembiayaan harus mengetahui beberapa hal, agar hal-hal kurang menyenangkan seperti kasus di atas bisa diminimalisir. Pertama, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, tidak mengatur etika penagihan. Ketidakadaan tersebut membuat fintech leluasa menggunakan berbagai cara penagihan kepada debitur/nasabahnya. Begitupula dengan regulasi pelarangannya, kekosongan itu membuat OJK tidak bisa berbuat banyak.
Kedua, masyarakat harus tahu bahwa mayoritas fintech pembiayaan yang beroperasi menggunakan dana pribadi terlebih dahulu untuk membangun “trust”, sehingga “wajar” menghalalkan segala cara guna mengembalikan uang mereka, sebab syarat nasabah yang meminjam uang sangat ringan, KTP, Nomor rekening, dan data-data lainnya serta tanpa agunan. Prinsip 5C tidak begitu digunakan. Mereka (fintech) bahkan terkadang menyewa jasa pihak ketiga untuk menagihkan, sebab risiko kehilangan dana (kredit macet) sangat tinggi. Resiko yang begitu besar juga mengakibatkan mereka menerapkan bunga yang tinggi sebagai proteksi atas gagal bayar. OJK dalam hal ini juga tidak bisa berbuat banyak, sebab tidak ada kepentingan secara langsung, murni kesepakatan atau peer to peer, berbeda dengan bank yang memiliki makro prudensial yang harus dijaga. Akibatnya, Fintech sempat digelari “retenir digital”.
Ketiga, isu manajemen risiko pada fintech yang belum “teruji”, senada dengan Steven Minskey (2015) yang mengatakan Fintech tidak banyak memiliki tim manajemen resiko yang profesional dan belum pengalaman dalam mitigasi risiko (The Disruption Of Banking, 2015: 6-7). Ada hal yang menarik ketika saya meneliti salah satu fintech pembiayaan berbasis Syariah di Jakarta. Saya sempat mewawancarai Chief Operating Officer (COO) fintech Indves Dana Syariah, Dikri Payren (25) tentang penagihan kepada nasabah. “Dalam menagih utang kita harus lebih galak, sebab itu kewajiban, dalam Islam pun Rasulullah SAW tidak mau menyolati orang yang masih memiliki tanggungan utang”. Ungkapnya.
Saya juga sepakat dengan apa yang diutarakan, “galak” ini yang beretika, tidak dipermalukan apalagi menzalimi, adanya konfirmasi mengenai hambatan dan halangan juga akan turut akan mereka pertimbangkan, jika lewat batas pembayaran. Pada intinya menekankan komunikasi dan keterbukaan.
Bagaimana seharusnya?
Kemunculan fintech harusnya dimanfaatkan secara baik, terutama dalam membantu akses keuangan, bukan malah menciptakan “setan kredit” ataupun “retenir digital”. Yang kita harapkan jauh lebih dari itu, dapat meningkatkan indeks inklusi yang baru sebesar 29,7%, sedangkan untuk literasi 67,8% (2016). Begitu juga dengan yang Fintech yang bergenre syariah dapat menggenjot tingkat indeks inklusi (11,1 %) dan literasinya (8,1%).
Perkembangan fintech seharusnya menjadi momentum guna memajukan sistem keuangan kita, menjadi opsi variatif bagi masyarakat guna mengakses layanan keuangan. Apalagi UMKM, yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan jadi tulang punggung perekonomian Negara, mereka punya opsi ini.
Kita sebagai masyarakat juga harus jeli memilih milih fintech yang akan kita gunakan, sebab yang terjadi pada kasus-kasus di atas, bukan hanya yang tidak terdaftar di OJK, namun dibeberapa kasus juga menimpa fintech yang terdaftar di OJK. Bijaklah dalam merencanakan keuangan, sebab kita tentu tak ingin dengan sengaja menjebakkan diri dalam lingkar setan retenir digital. Semoga saja bisa. [*]
Penulis : Muh. Taufiq Al-Hidayah (Magister Ekonomi Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)