OpiniPolitik

Kontestasi Kepentingan dan Kekuasaan di Pilpres 2019

×

Kontestasi Kepentingan dan Kekuasaan di Pilpres 2019

Sebarkan artikel ini

Penulis : Fauzi Hadi, S.IP., M.H.   (Pengamat Politik & Penggiat Anti Korupsi, UIN Alauddin )

SEKILASINDO.COM- Pasca runtuhnya rezim otoriter 1998 lalu, berimplikasi pada terpolarisasi beberapa partai politik yang mengusung ideologi nasionalis dan religius. Lahirnya sejumlah partai tersebut tidak terlepas  dari perpecahan partai penguasa orde baru yakni partai beringin (golkar) yang melahirkan sejumlah partai yang berideologi nasionalis seperti Gerindra, Nasdem, Hanura. Tidak hanya partai nasionalis, poros partai religius pula terbentuk seperti PAN, PKB, PBB, dan PKS. Tidak hanya partai politik yang hadir ke permukaan.

Click Here

Organisasi keislaman pun menunjukkan “taring” nya dengan mendeklarasikan organisasi yang mereka bentuk. Yang tentunya masing-masing memiliki ideologi dan cara kerja yang khas. Organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memiliki sejumlah kader dan simpatisan yang terbilang cukup banyak dan hampir merata di seluruh kota atau kabupaten di Indonesia. Kehadiran sejumlah partai politik baru dan organisasi Islam serta kembalinya ruang publik menjadi sebuah bukti bahwa negara ini telah berhasil keluar dari sistem otoriter dan memulai hidup baru di era reformasi.

Setelah berhasil keluar dari era orde baru, sejumlah perombakkan dilakukan oleh  pemerintah Indonesia. Mulai dari sistem politik, hukum dan  perubahan konstitusi (amandemen). Hingga berdampak pada sistem pemilu yang berubah menjadi sistem pemilihan langsung yang sebelumnya masih sistem perwakilan. Sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat memberikan hak suaranya agar bisa berpartisipasi langsung dalam memilih calon pemimpin di tingkat daerah maupun nasional. Sistem inilah yang dikenal dengan demokrasi. yakni sistem politik yang berdasar pada kepentingan rakyat bukan pada penguasa.

Namun, Indonesia hari ini telah mengalami distorsi dalam ranah demokrasi yang juga tinggal sebagai “barang antik” dikala modernitas semakin tampil sebagai sosok yang ingin menjadi benteng kebebasan individu. Dalam artian demokrasi kekinian telah menjadi “pajangan” yang hanya bisa dilihat dan dirasakan secara simbolik namun tidak dapat dimaknai secara substantif.

Demokrasi kekinian hanya sering dikaitkan dengan pemilu dan pilkada. Yang hanya sebatas seremoni dan hanya “memuaskan” hasrat para politisi partai. Sehingga demokrasi seolah tersandera oleh oligarki hingga oportunis partai politik. Atas nama demokrasi partai politik sudah tidak bertindak secara professional sebagai sebuah wadah atau perangkat untuk menghadirkan kader-kader yang memiliki kapabilitas, integritas, dan moralitas. Kini partai politik dijadikan hanya sebagai kendaraan untuk mendulang kekuasaan semata yang sifatnya sangat pragmatis.

Hal itu menyebabkan degradasi politik semakin merosot tajam “mahar” untuk mendapat tiket partai politik tidaklah kecil. Merekalah yang memiliki dana besar yang akhirnya mendapat tanda tangan partai politik yang dipilihnya. Menyaksikan kondisi politik kekinian rasa-rasanya hanya bagi-bagi “kue” saja. Kekuasaan hanya dijadikan sebagai alat legitimasi paling kuat untuk memenuhi kepentingan elit dan kelompoknya saja. Sehingga proses memproduksi gagasan tidak terjadi secara signifikan. Dominasi kekuasaan telah menjadi “dinasti” yang kokoh dalam melanggengkan segala kepentingan penguasa.

Kontestasi kekuasaan dan kepentingan dalam konteks Indonesia terlihat jelas  dalam proses konsolidasi cawapres di pilpres 2019. Ketika incumbent membuat kejutan yang tidak diduga dengan memilih K.H Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya ketimbang Mahfud MD yang sebelumnya telah digodok dan dipersiapkan sejak lama untuk menemani Jokowi. Walaupun telah menjadi rahasia umum bahwa terpilihnya Ma’ruf Amin karena kepentingan untuk mendulang suara umat Islam tidak dapat dibantah.

Terpilihnya Ma’ruf sebagai cawapres memberikan legitimasi kuat bahwa politik di Indonesia lebih didominasi oleh arogansi kepentingan elit atau kelompok tertentu. Dan gagalnya Mahfud MD menjadi pendamping Jokowi secara tidak langsung telah menghina akal sehat dan moralitas publik. Karena politik yang ditampilkan para elit tidak berbasis pada pencapaian peradaban dan pendidikan politik justru koalisi Indonesia hebat ini menampilkan skenario politik yang pragmatis dan tidak mendidik.

Kontestasi pilpres 2018-2019 ini menjadi kontestasi yang paling bergengsi sepanjang pilkada langsung dihelat. Mengapa demikian? Karena pada kontestasi pilpres kali ini membuat sejumlah ormas Islam dan LSM menentukan langkahnya sendiri. Untuk berpartisipasi menentukan siapa yang layak menjadi nahkhoda bangsa ini periode 2019-2024. Hal tersebut terlihat jelas dengan terbentuknya forum ijtima ulama.

Terbentuknya ijtima ulama adalah respon atas perhatian para ulama kepada bangsa dan negara ini yang menganggap pemerintahan sekarang telah gagal mendistribusi keadilan dan kesejahteraan.  Forum ijtima ulama dibentuk untuk mencari sosok pendamping Prabowo Subianto dengan mengusung take line “nasionalis & Ulama”.

Dua nama yang muncul di forum tersebut adalah Abdul Somad dan Habib Salim Assegaf. Lobi-lobi dan rayuan politik pun dilakukan agar Ustd. Abdul Somad mau menerima keputusan ijtima ulama untuk mendampingi Prabowo menjadi cawapres. Namun karena Abdul Somad tidak tertarik alias menolak terjun ke politik praktis dengan berbagai alasan dan masih betah sebagai seorang muballig membuat pilihan tertuju pada Habib Salim Asseggaf yang juga menjabat dewan pertimbangan PKS.

Namun elektabilitas dan citra Habib Salim tidak seperti Abdul Somad akhirnya Habib Salim gagal pula menjadi cawapres Prabowo hanya karena nama Habib Salim sulit untuk “dijual” dan asing di publik. Hingga pada akhirnya nama pengusaha ternama yang juga wakil gubernur DKI Jakarta yang menjadi cawapres Prabowo.

Namun apapun alasannya, forum ijtima Ulama terlihat hanya sebagai “kedok” dari pragmatisme para elit politik. Karena pada akhirnya tidak satupun nama yang direkomendasikan di forum tersebut menjadi cawapres. Sehingga take line Nasionalis & Ulama berganti menjadi Nasionalis & Pengusaha.

Namun apapun dalilnya kontestasi pilpres 2019 mendatang menjadi perhelatan yang sangat menarik untuk terus diikuti. Karena perhelatan ini menentukan “arah baru” bangsa dan negara Indonesia dalam pentas domestik dan internasional kedepannya.

Penulis : Fauzi Hadi, S.IP.,M.H. (Pengamat Politik & Penggiat Anti Korupsi, UIN Alauddin )

Editor : AR

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d