Sekilasindonesia.id, || SERANG – Beberapa hari ini media masa terutama online diramaikan oleh polemik antara Wakil Ketua Komisi Informasi (KI) Moch. Ojat Sudrajat (Ojat) dengan Sekdiskominfo Karna Wijaya terkait posisi Sekretaris Komisi Informasi Provinsi Banten menimbulkan kegaduhan dan mengundang keprihatinan berbagai kalangan.
Menurut Pengacara Panri Situmorang, SH, hal itu semestinya tidak perlu terjadi, bila keduanya bersinergi dalam harmoni, guna melayani masyarakat sesuai tugas dan fungsi KI terutama penyelesaian sengketa informasi publik.
Saya mengamati perilaku dan aktivitas Ojat sebelum menjadi komisioner KI, yang sering membuat ‘kegaduhan’ dengan mengkritisi para Pejabat Pemprov Banten, sejak jaman Gubernur Wahidin Halim dan berlanjut masa Pj. Gubernur Almuktabar,” paparnya, Rabu (29/01/2025).
Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana sepak terjang Ojat yang mengkritisi Pj. Sekda Trenggono saat itu hampir setiap hari, dan dugaan saya membisiki Pj. Gubernur Almuktabar untuk menggantinya dengan Virgojanti yang berasal dari daerah Lebak yang sama dengan Ojat.
Setelah Treggono digeser menjadi Inspektur Inspektorat Provinsi Banten dan Virgojanti ditunjuk menggantikannya menjadi Pj. Sekda, Ojat hampir tidak pernah mengkritisinya.
Menyorongkan Kabid PIKK jadi Sekretaris KI tampaknya manuver dan skenario yang sama digunakan untuk menggeser Karna Wijaya dan menyorongkan pejabat lainnya yang berdasarkan informasi, Ojat menggadang-gadang atau menyorongkan Kepala Bidang Pengelolaan Informasi dan Kemitraan Komunikasi (Kabid PIKK) Diskominfosp Aat Subhan Syafaat,” paparnya.
Hal tersebut sangat masuk akal dan kongruen dengan kasus penggantian Pj, Sekda tadi menimbang : Pertama, selain sebagai Kabid PIKK, Aat Subhan Syafaat Adalah Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK) yang mengelola anggaran KI Milyaran Rupiah.
Kedua, Aat Subhan Syafaat berasal dan satu daerah dengan Ojat, yakni sama-sama dari Rangkas Lebak.
Ketiga, Aat Subhan Syafaat mungkin dianggap oleh Ojat, relatif mudah dikendalikan dibanding Karna Wijaya.
Keempat, diduga ada deal tertentu antara Aat Subhan Syafaat dan Ojat dalam ‘mengelola’ KI dan bila hal ini benar, sangat membahayakan eksistensi dan kredibilitas KI ke depan,”
Oleh karenanya, KI harus diselamatkan dari potensi bahaya itu,” terangnya.
Kekosongan jabatan sekretaris KI sepanjang bulan Januari ini, menjadi asumsi bahwa sepanjang bulan Januari pula tidak ada persidangan Penyelesaian Sengketa Informasi (PSI) yang notabene tugas pokok dan fungsi (Tusi) KI.
Bila tidak melaksanakan Tusi KI, maka secara moral dan etik komisioner KI tidak berhak mendapat gaji merujuk jargon dunia kerja : ‘No Work, No Pay’, tidak ada kerja, tidak dapat gaji. penggunaan istilah ‘gaji’ bukan istilah ‘honorarium’ lebih tepat, karena kedua istilah itu sangat berbeda secara substantif.
Gaji merujuk kepada kompensasi hasil kerja dengan besaran rupiah yang cukup besar dan sepadan dengan hasil kerja, sedangkan honorarium merujuk kepada sedikitnya nilai rupiah meski beban pekerjaan cukup berat karena terdapat nilai pengabdian (sukarela) didalamnya, sesuai dengan arti ‘honorarium’ yakni uang kehormatan,” tegasnya.
Gaji Ketua Ki sekitar 30 jutaan rupiah, gaji Wakil Ketua KI (Ojat) 28 Jutaan dan gaji anggota KI lainnya 27 Jutaan.
Suatu pendapatan yang sangat fantastik dan melampaui tunjangan kinerja pejabat eselon 2 serta sepuluh kali lipat dari para tukang sapu yang bekerja menyapu jalan setiap pagi dan sore selama 1 bulan di Pemkab Pandeglang dan Lebak.
Pertanyaannya, apakah gaji sebesar itu setimpal dengan pekerjaan para Komisioner KI yang hanya menyidangkan sengketa informasi ? sementara honor Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Banten hanya sepertiga dari gaji Komisioner KI.
Hal ini menimbulkan ‘kecemburuan sosial’, padahal kedua Lembaga tersebut dibawah Pengampuan Diskominfo Banten
Inkompetensi Plt. Kadiskominfo Banten
Kekisruhan sebagaimana diuraikan di atas, tidak akan terjadi, bila Plt, Kadiskominfo Nana Suryana peka dan cepat tanggap dalam menyelesaikan permasalahan di KI.
Kekisruhan ini untuk kedua kalinya, setelah yang pertama yakni kekosongan komisioner KI selama 7 bulan pada tahun 2024 yang lalu.
Permasalah pertama (kekosongan komisioner KI) terjadi karena Plt, Kadiskominfo tidak mampu mengkomunikasikan atau memediasi kepentingan Pemprov dan (Komisi 1) DPRD Banten saat itu, sehingga terjadi ‘tarik tambang’ kepentingan yang berlarut-larut hingga 7 bulan.
Permasalahan kedua (kekisruhan KI), terjadi karena Plt. Kadiskominfo tidak peka terhadap potensi kekisruhan tersebut, yang seharusnya dapat diantisipasi sejak awal Januari 2025 atau bahkan sejak awal Desember 2024.
Kepekaan itu diwujudkan dengan melaporkan, mengkomunikasikan dan mengkordinasikan perihal penunjukan Sekertaris KI kepada Pj. Gubernur, Pj,Sekda dan para Komisioner KI.
Selain kisruh KI, bila ditelisik ke belakang lagi, ada kekisruhan di awal tahun 2024, terkait penunjukan Vendor atau pihak ketiga dalam pengadaan barang/jasa infrastruktur jaringan internet di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), yang pernah dilaporkan oleh aktivis Gerakan Masyarakat Bawah Indoneisa (GMBI) Banten kepada inspektorat dan Perwakilan BPK Banten dengan dugaan (menurut laporan GMBI) ada gratifikasi dalam penunjukan vendor itu.
Menilik paparan tersebut di atas, kompetensi Plt. Kadiskominfo Nana Suryana dalam mengelola Diskominfo dan mengampu kedua lembaga (KI dan KPID) tersebut patut dipertanyakan.
Seulas saran
Uraian di atas dapat dijadikan referensi dan menyarankan kepada Pj. Gubernur/Pj.Sekda/Pemprov, untuk melihat persoalan dengan jernih dan membuat Solusi yang akurat, diantaranya yaitu : Pertama, tidak menugasi atau menunjuk Karna Wijaya menjadi sekretaris KI meski menurut klaim ex-officio sekdis kominfo adalah sekretaris KI.
Hal ini untuk menghindari disharmoni dan konflik psikologis di internal KI seperti pernyataan Pj. Sekda Nana Supiana kepada media, juga tidak menugasi atau menunjuk Aat Subhan Safaat demi menyelematkan KI dari potensi bahaya sebagaimana dijelaskan tadi. Kedua, menugasi atau menunjuk selain keduanya adalah Solusi alternatif yang bijak dan dapat diterima semua pihak serta mencegah klaim ‘menang-kalah’ para pihak yang berpolemik (Ojat dan Karna), justru yang harus dimenangkan adalah Masyarakat Banten.
Ketiga, prinsip no work no pay sebagai prinsip moral, harus diterapkan, yakni dengan tidak membayarkan gaji para komisoner KI bulan Januari.
Apabila secara birokratis hal tersebut tidak memungkinkan atau gaji komisioner tetap harus dibayarkan oleh Pemprov melalui Diskominfo, maka para Komisionerlah yang harus mengembalikannya bila sudah masuk rekening mereka.
Hal ini sebagai ujian atas integritas dan moral para komisioner, yang apabila melakukan itu (pengembalian gaji Januari), maka para komisioner KI patut diacungi jempol atas integritas dan moralnya, tetapi bila tidak mengembalikan, maka integritas dan moral mereka patut dipertanyakan.
Terakhir, sebagimana diuraikan tadi, bahwa terjadinya kekisruhan di KI dan munculnya pengaduan aktivis GMBI terkait penunjukan vendor pengadaan jaringan internet, menunjukan ‘ada masalah dengan kompetensi Plt. Kadiskominfo.
Hal ini harus menjadi dasar pertimbangan Gubernur Baru untuk mengganti Nana Suryana dengan Pejabat Eselon 2 atau Kepala OPD lainnya, hingga ada Kadiskominfo definitif melalui proses lelang jabatan.
Karena sejatinya assasment atau uji kempetensi, bukan hanya memberikan soal-soal simulatif dan spekulatif dilayar komputer yang harus dipilih atau dijawab oleh pejabat atau ASN peserta yang telah dihelat Pemrov Banten minggu lalu, tetapi yang lebih substantif adalah ‘uji kemampuan secara empiris, para pejabat Pemrov dalam menyelesaikan permasalahan riel di lapangan,” pungkas Panri Situmorang.
Bagindo Yakub.