Lampung Timur | Sekilas Indonesia
Lemahnya pengawasan keamanan, Tamrin penghuni Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Sukadana, Lampung Timur, mengalami luka akibat penusukan senjata tajam, sehingga di larikan ke Rumah Sakit Umum Sukadana.
Akibat kejadian ini, Hairul, sebagai keluarga korban, mempertanyakan bagaimana senjata tajam tersebut bisa masuk ke dalam rutan dengan leluasa.
“Diduga, senjata tajam itu diperoleh dari besukan orang luar, sehingga menyiratkan adanya kelalaian dan potensi penyalahgunaan wewenang dari petugas rutan,” ujar Hairul. Jum’at (4/10/2024).
Dia juga menekankan, Kejadian ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap standar prosedur yang harus diikuti, dan kami berharap pihak kepolisian serta Kemenkumham dapat segera menyelidiki.
Para awak media yang berusaha menggali informasi lebih lanjut mengenai insiden penusukan ini menemui kendala. Kepala Pengamanan Rutan (KPR) Kelas IIB Sukadana, Mario Filie, melarang jurnalis untuk meliput, dengan alasan bahwa mereka tidak profesional.
“Larangan membawa handphone ke dalam rutan bagi kami merupakan penghambat tugas jurnalis,” keluh salah satu wartawan online.
Lebih lanjut Dia mengatakan, saat para wartawan berusaha untuk melakukan wawancara, mereka diminta menyimpan handphone di tempat yang disediakan dan hanya diperbolehkan mencatat dengan cara manual.
“Kami disuruh menulis di atas kertas untuk mencatat hasil wawancara. Kami merasa kembali ke zaman dahulu,” tambahnya.
Kebijakan pengamanan ini menuai protes dari banyak wartawan yang meliput di Lampung Timur. Mereka berencana untuk mengajukan protes resmi kepada pihak Kemenkumham, mengingat bahwa di era digital saat ini, handphone merupakan alat penting dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Kejadian ini menunjukkan tidak hanya masalah keamanan di dalam rutan, tetapi juga tantangan bagi kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya.
Wartawan berharap pihak berwenang dapat segera menindaklanjuti dan memperbaiki situasi ini demi kepentingan publik
“Menghalangi wartawan untuk memanfaatkan teknologi dalam peliputan sungguh ‘terlalu’. Kami mohon agar kebijakan ini ditinjau kembali,” pungkasnya. (Ril)