Sekilasindonesia.id, || SERANG – Asosiasi Prodi Hukum Tata Negara Republik Indonesia (APHUTARI) sebagai wadah para dosen dan prodi HTN pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) SE Indonesia menyelenggarakan diskusi publik. Acara yang dikemas dalam “Bincang Kritis Meneropong Masa Depan Demokratisasi Pasca Putusan MK tentang Persyaratan Capres-cawapres” dibuka langsung oleh Ketua APHUTARI, Prof. Saefullah dari UIN Malang.
“Kegiatan ini merupakan kajian ilmiah yang diharapkan memiliki kontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia yang demokratis,” kata ketua APHUTARI dalam sambutannya. Narasumber kegiatan ini para dosen HTN dan Fiqh Siyasah, yakni: DR. M. Ishom El Saha (UIN Banten), DR. Syafaat Anugerah (IAIN Pare Pere), dan Basuki Kurniawan MH. (UIN Jember).
Diskusi ini berjalan menarik, ada pro dan kontra, serta disimak lebih dari 300 peserta secara virtual. Pandangan kritis tentang tantangan demokrasi pasca putusan MK dikemukakan oleh DR. Syafaat Anugerah. Menurutnya hakim MK telah melakukan open legal policy persyaratan umur Capres-Cawapres yang semestinya diserahkan kepada pejabat pembuat undang-undang. Putusan MK yang final dan mengikat (final and binding) dianggapnya menyisakan masalah etika profesional hakim.
Sementara menurut DR. M. Ishom el-Saha, yang menyoroti demokratisasi dari perspektif role of law, bahwa putusan MK itu tidak menyalahi asas demokrasi. MK telah menjalankan aturan hukum yang berlaku, dan putusan MK pada dasarnya final and binding. Ia menyodorkan teori Siyasah qadhoiyah (politik kehakiman dalam Islam) bahwa hakim MK pada dasarnya memiliki kekuasaan konstitusional, baik sebagai penafsir undang-undang maupun penguji perundang-undangan.
Pertimbangan hakim MK yang memutus perkara judicial review persyaratan umur Capres-Cawapres telah memuat klausula konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersayarat. Sebagai norma hukum yang berlaku umum, semestinya putusan MK itu menjadi celah bagi generasi muda yang aktif di dunia perpolitikan nasional dan terpilih dalam pemilu untuk meningkatkan kualitas dan kompetensinya. Supaya ke depannya mereka juga dapat mencalonkan diri atau diusung sebagai Capres-Cawapres.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Basuki Kurniawan, di mana menurutnya putusan MK ini dapat dimanfaatkan oleh generasi muda untuk menjadi pemimpin nasional. Pro-kontra putusan MK merupakan suatu yang wajar sebab masing-masing mempunyai sudut pandang berbeda.
Menurutnya, bagi penganut aliran hukum natural, putusan MK ini dianggap menabrak norma dan etika hukum. Akan tetapi bagi penganut aliran hukum positivisme, putusan MK itu justru memberi angin segar buat setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pro-kontra putusan MK sudah sering terjadi dan tidak hanya putusan MK kali ini yang menghebohkan masyarakat. Tanggul jawab kita bersama ke depan adalah memperkuat pendidikan politik terutama bagi generasi muda. Tujuannya supaya putusan MK itu dapat dijadikan pijakan untuk melakukan inovasi baik dari segi politik maupun hukum. Bukan sebaliknya, seperti yang disangkakan banyak kalangan, yaitu mengotak-atik konstitusi untuk kepentingan golongan dan sekelompok orang.
Demikian kesimpulan bincang kritis meneropong demokratisasi pasca putusan MK tentang prasyarat Capres-cawapres yang diadakan APHUTARI secara daring.
Bagindo Yakub.