OPINI – Di balik riuhnya kasus Ferdi Sambo cs tak luput dari aneka kejutan, tak pernah terpikir dibenak kita semua bahwa vonis hakim akan begitu kontras dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Di awal kasus ini mulai mencuat sampai proses persidangan mulai berjalan, rasa-rasanya ada banyak kesimpulan yang melampaui proses entah berlandaskan keilmuan hukum dan tidak sedikit yang menerka-nerka dengan perasaan serta asumsi liar semata.
Masyarakat dipaksa menjadi penulis skenario dengan versinya masing-masing dengan membedah skenario Sambo cs lalu menciptakan alur, konflik dan karakteristik tokoh atas peristiwa tersebut.
Fenomena spekulatif dengan membentuk persepsi publik atas konklusi yang cenderung prematur sepatutnya perlu mendapat pemakluman, mengingat masyarakat kita menaruh ekspektasi tinggi terhadap lembaga peradilan walaupun jatuhnya seringkali berbuah kekecewaan.
Rasa-rasanya penulis terasa amat sungkan untuk mengulik kasus fenomenal ini, selain sudah banyak ahli hukum menyatakan pendapat dengan segala argumentasi ilmiahnya lagi pula kasusnya telah usai pada pengadilan negeri tingkat pertama.
Kendati demikian, perspektif tidak selalu berkutat pada substansi kasus namun dengan melihat dari sisi yang berbeda ada beberapa intisasi yang dapat diuraikan dengan berfokus pada esensi.
Setidaknya penulis dapat menyoroti beberapa hal yang mungkin saja kurang tersorot oleh potret pemikiran pada umumnya.
Pertama, peradilan kasus Sambo cs seyogyanya menjadi auto kritik bagi penegakan hukum kita di Indonesia. Tidak bermaksud menyudutkan, namun jika ungkapan L.Friedman kembali direnungkan bahwa salah satu yang memengaruhi berjalannya sistem hukum dengan baik adalah faktor legal structure yang diartikan sebagai institusionalisasi dari entitas-entitas hukum, seperti lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya.
Vonis hakim membuktikan bahwa masih ada secerca harapan untuk melekatkan hukum dengan kata supremasi. Penegakan hukum yang menempatkan supremasi hukum pada posisi tertinggi tidak memandang hal yang berbau primordial, suka atau tidak sistem dan penegakan hukum kita masih sangat kental dengan ikatan-ikatan primordial.
Mengapa penting menjadikan kasus Sambo cs sebagai momentum untuk mengumandangkan peradilan yang ansih, agar ruh keadilan tetap bersemayam di ruang-ruang peradilan untuk menjaga marwahnya dan keadilan masih bertuan pada kebenaran.
Kedua, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib pernah mengungkapkan bahwa “kebenaran yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kebhatilan yang terorganisir”. Kelemahan kita saat ini adalah sungkan dan terasa canggung jika harus menyatakan kebenaran apalagi untuk melakukan kebenaran.
Perilaku buruk cenderung subur di negeri ini, ada rasa bangga jika telah melakukan kejatahan, bermitra dengan penjahat dan ironisnya ada pula penjahat yang berkedok penegak hukum. Cahaya terang akan selalu mengalahkan kegelapan, begitu juga dengan kejahatan yang terorganisir dibalik layar bersekutu dengan para penguasa mudah untuk merusak, menyesatkan, dan membolak balikan logika binner kita akan terreduksi oleh cahaya Kebenaran yang dipersatukan oleh kejujuran Barada E menerangi ruang sidang menguak tabir kebohongan.
Rakyat Indonesia tanpa ragu untuk menyatakan dukungannya terhadap Barada E, hal ini seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk intervensi peradilan seperti sebagian orang yang cenderung normatif melihatnya, justru kekuatan besar kebathilan haruslah dilawan dengan kekuatan yang lebih besar yaitu kebenaran itu sendiri.
Ketiga, ut sementem feceris, ita meted, siapa yang menabur ia yang menuai. Demikian bunyi asas hukum yang menegaskan bahwa setiap orang akan mempertanggungjawabkan apa yang ia perbuat. Dapat dibayangkan jika kejujuran Barada E tak terungkap dalam proses hukum, seperti apa peliknya kasus ini.
Hal demikian menjebak hakim dalam situasi yang tidak mudah, hal yang lazim jika ada rasa ragu, sementara keragu-raguan memaksa hakim memberikan putusan yang menguntungkan terdakwa “in dubio pro reo”.
Maka sepatutnya seorang hakim menghukum bebas orang yang bersalah dari pada menghukum orang yang tidak bersalah, kira-kira begitulah filosofi yang wajib diamini seorang wakil tuhan di muka bumi.
Potret vonis ke lima terdakwa minimal memberikan deskripsi kepada kita semua bahwa apa yang anda tabur itu pula yang anda tuai. Empat terdakwa diberatkan melebihi tuntutan JPU dan satu diringankan atas kejujuran serta keberaniannya, itulah hasil yang dituai.
Perjuangan untuk membiasakan serta terbiasa untuk jujur dan berani melakukan yang benar belumlah purna. Mari tetap mengawal penegakan hukum yang cenderung dzalim agar kalimat hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas sirna dengan sendirinya, semoga.
Penulis : Firmansyah, M.H. (Dosen Hukum UNM)