Opini

Vonis Tambang 300 T dan PPN 12 %: Kisah Ironi Negara yang Melegalkan Ketimpangan

×

Vonis Tambang 300 T dan PPN 12 %: Kisah Ironi Negara yang Melegalkan Ketimpangan

Sebarkan artikel ini
Penulis : Syaiful Rizal., S.Pd.I., M.Pd (Dosen Universitas Islam KH. Achmad Muzakky Syah)

OPINI, SEKINDO.ID-Ketika pemerintah melalui presiden Prabowo resmi memutuskan dan mengumumkan memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen (31/12/24), menunjukkan narasi yang disampaikan adalah ambisi untuk memperkuat pendapatan negara. Namun, di balik kebijakan ini, terkuak ironi yang lebih mencengangkan: tambang bernilai ratusan triliun rupiah menjadi panggung eksploitasi, tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga hukum dan keadilan.

Kasus korupsi tambang yang melibatkan Helena Lim dan Harvey Moeis menjadi cermin buram keadilan di negeri ini, di mana hukum tidak hanya tumpul ke atas, tetapi juga menjelma menjadi panggung sandiwara bagi segelintir elit untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi mereka. Di tempat yang semestinya sakral bernama Pengadilan Tipikor dan Mahkamah Agung, drama kekuasaan mereka dipertontonkan bak lakon tragis yang menggiring nurani publik pada keputusasaan.

Click Here

Kenaikan PPN: Solusi atau Pemerasan Terselubung?

Kebijakan PPN 12 persen diklaim sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, kenyataannya, kenaikan pajak ini justru menjadi beban tambahan bagi industri tambang yang sudah berjuang menghadapi tantangan global. Ironisnya, saat pengusaha tambang yang patuh hukum dihantam pajak yang lebih tinggi, pelaku kejahatan korupsi tambang seperti Helena Lim dan Harvey Moeis justru menikmati hukuman ringan, seolah-olah merampok negara adalah tindakan yang pantas dimaafkan.

Tambang bernilai Rp300 triliun, yang seharusnya menjadi simbol kekayaan nasional, kini lebih menyerupai “ladang permainan” bagi elit yang mengabaikan kepentingan rakyat. Kenaikan PPN 12 Persen seolah hanya menjadi alat untuk menekan pengusaha tambang kecil dan menengah, sementara mereka yang berada di puncak piramida kekuasaan terus menghindari tanggung jawab melalui celah hukum yang sudah mereka ciptakan sendiri.

Korupsi: Legalitas Ketidakadilan

Kasus Helena Lim dan Harvey Moeis menjadi salah satu mega korupsi terbesar setelah kasus BLBI yang terungkap dalam sejarah bangsa ini. Tidak hanya menjadi persoalan uang semata, korupsi ini menjadi cerminan legitimasi ketimpangan yang kian menancap dalam sistem hukum dan sosial kita. Ketika hukuman ringan diberikan kepada pelaku kejahatan yang merugikan negara triliunan rupiah, pesan yang disampaikan jelas: keadilan di negeri ini bukan soal prinsip, melainkan harga yang bisa dinegosiasikan bagi mereka yang memiliki cukup uang dan koneksi.

Sementara itu, Kesejahteraan masyarakat tambang tetap menjadi janji kosong di tengah eksploitasi yang memperkaya segelintir elit. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan keadilan sosial, dengan vonis ringan mempertegas ketimpangan. Tanpa reformasi hukum dan tata kelola, siklus korupsi terus berulang, meninggalkan rakyat kecil sebagai korban abadi.

Dampak Jangka Panjang: Kehancuran Kepercayaan Publik

Korupsi dan ketidakadilan ini bukan hanya merusak sektor tambang, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bagaimana rakyat bisa percaya pada narasi “keadilan fiskal” jika hukum hanya berlaku bagi yang lemah, sementara para elit terus hidup nyaman meski merampok kekayaan negara?

Investor asing pun mulai mempertanyakan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi. Rezim pajak yang tinggi, dikombinasikan dengan budaya korupsi yang sistemik, menjadikan negara ini tidak kompetitif di pasar global. Bukannya menjadi magnet investasi, Indonesia justru perlahan kehilangan kepercayaan dunia.

Solusi Radikal untuk Masalah Sistemik

Tidak cukup hanya menaikkan pajak atau memperketat regulasi. Dibutuhkan reformasi sistemik yang berani untuk menyelamatkan sektor tambang dan reputasi negara. Berikut beberapa langkah radikal yang perlu diambil: Pertama, Hukuman Maksimal bagi Pelaku Korupsi: Tidak ada ruang untuk hukuman ringan. Pelaku korupsi tambang harus dihukum berat, termasuk penyitaan aset yang diambil dari hasil kejahatan mereka. Kedua, Transparansi Penuh dalam Pengelolaan Tambang, Setiap kontrak tambang harus dipublikasikan dan diawasi oleh badan independen. Masyarakat harus mengetahui ke mana hasil tambang mereka digunakan. Ketiga, Reformasi Hukum yang Mendalam: Celah hukum yang memungkinkan korupsi harus ditutup. Sistem peradilan perlu dirombak agar tidak bisa dimanipulasi oleh elit. Keempat, Penguatan Peran Masyarakat Lokal: Masyarakat di sekitar tambang harus menjadi penerima manfaat utama, melalui alokasi dana pembangunan daerah yang transparan dan terarah.

Sebuah Pertaruhan Nasional

Kenaikan PPN 12 persen dan korupsi tambang mencerminkan ketimpangan sistemik. Tanpa reformasi mendesak, Indonesia terjebak ketidakadilan, sementara tambang bernilai triliunan menjadi bukti kehancuran sumber daya alamnya.

Penulis : Syaiful Rizal., S.Pd.I., M.Pd (Dosen Universitas Islam KH. Achmad Muzakky Syah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d