OPINI, SEKINDO.ID – Gaung Merdeka Belajar terus bergema, namun di balik hiruk-pikuknya, terselip jeritan hati dari kampus-kampus di Indonesia. Jeritan yang berasal dari para dosen, pahlawan tanpa tanda jasa yang mengabdikan diri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, pengabdian mereka seringkali terbentur tembok tebal realitas: beban administrasi menumpuk, sementara kesejahteraan terabaikan.
Dosen, di pundak merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan. Mereka tak hanya dituntut mengajar, tapi juga meneliti, menulis, dan mengabdi kepada masyarakat. Publikasi ilmiah menjadi syarat mutlak untuk kenaikan pangkat, seakan kualitas seorang dosen hanya diukur dari seberapa banyak karyanya terindeks Scopus. Beban administratif pun tak kalah mencekik, menyita waktu dan energi yang seharusnya bisa dicurahkan untuk kegiatan akademik.
5 November 2024 lalu sejumlah perwakilan dosen yang mengatasnamakan dirinya sebagai Serikat Pekerja Kampus (SPK) berkunjung ke DPR RI Komisi X melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebagai bukti keseriusan bahwa banyak hal yang mesti dibenahi bagi dosen-dosen di Indonesia. Tentunya hal ini dilakukan sebagai upaya perbaikan SDM dan institusi pendidikan tinggi kita.
Kesejahteraan Terabaikan
Di sisi lain, kesejahteraan dosen masih jauh dari kata layak. Gaji yang minim, tunjangan yang tak pasti, dan jaminan sosial yang kurang memadai menjadi gambaran buram realitas dosen Indonesia. Tak heran jika banyak dosen muda yang terpaksa mencari penghasilan tambahan di luar kampus, bahkan beralih profesi demi memenuhi kebutuhan hidup.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang terkesan mengabaikan nasib dosen. Program sertifikasi dosen yang digadang-gadang mampu meningkatkan kualitas dan kesejahteraan, justru terjebak dalam birokrasi yang rumit dan transparansi yang rendah. Tunjangan profesi yang seharusnya menjadi hak dosen, seringkali terlambat cair, bahkan dipotong tanpa alasan yang jelas.
Data yang dihimpun Serikat Pekerja Kampus (SPK) menunjukkan 61% dosen masih digaji di bawah Rp 3 juta untuk dosen di perguruan tinggi negeri dan di bawah Rp 2 juta untuk dosen perguruan tinggi swasta. Bahkan ada dosen memiliki pekerjaan sampingan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jika mereka menolak apa yang diberikan maka pilihannya adalah mereka dikeluarkan dari kampus, sedangkan jika beralih ke kampus lain Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) mereka ditahan.
Akibatnya, motivasi dan semangat dosen semakin menurun. Kualitas pendidikan tinggi pun terancam merosot. Fenomena brain drain di kalangan dosen bukan lagi isapan jempol. Banyak dosen berprestasi yang memilih berkarir di luar negeri, meninggalkan kampus-kampus di Indonesia yang semakin kehilangan taringnya.
Menanti Kebijakan Baru KemendiktiSaintek
Kini, dengan hadirnya Kabinet Merah Putih dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang baru, muncul secercah harapan bagi para dosen. Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro, dengan rekam jejaknya di dunia pendidikan tinggi, diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi nasib dosen di Indonesia. Namun, harapan itu harus dibarengi dengan aksi nyata.
Permenpanrb No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional membuat para dosen menjadi kaku seperti robot. Mereka harus mengikuti arahan pimpinan dan patuh terhadapnya, jika tidak karir mereka akan terhambat.
Pemerintah harus berkomitmen pada kemajuan sains dan teknologi dengan meningkatkan anggaran riset agar inovasi dan kontribusi keilmuan di Indonesia tercapai. Jika pemerintah merealisasikan itu para perguruan tinggi dan peneliti bisa bekerja optimal untuk menghasilkan riset dan novelty.
Tentunya akan banyak tugas baru di KemendiktiSaintek, seperti ; pertama, harmonisasi kurikulum pendidikan tinggi pemerintahan sebelumnya agar tidak merubah program yang saat ini masih berproses. Kedua, memberikan jaminan kebebasan akademik bagi dosen dengan kebebasan berserikat. Ketiga, alokasi anggaran riset perlu ditingkatkan. Terakhir, meningkatkan kesejahteraan dosen.
Akankah Kabinet Merah Putih mendengar jeritan hati dari kampus? Akankah Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro dan jajarannya mampu merumuskan kebijakan yang pro dosen dan meningkatkan kesejahteraan mereka? Atau akankah nasib dosen tetap terabaikan di tengah gegap gempita Merdeka Belajar?
Reformasi pendidikan tinggi harus dimulai dari kesejahteraan dosen. Revisi regulasi yang pro dosen, peningkatan gaji dan tunjangan, serta penyederhanaan birokrasi sertifikasi dosen menjadi langkah konkret yang harus diambil. Investasi pada dosen adalah investasi pada masa depan bangsa. Jangan biarkan jeritan hati dari kampus terus bergema tanpa ada respons yang memuaskan.
Sudah saatnya dosen dihargai selayaknya pahlawan pendidikan. Mereka berhak mendapatkan kesejahteraan yang layak agar dapat fokus menjalankan tugas mulia mereka yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis : Amril Maryolo. AR
Afiliasi : Dosen UIN / Institut Teknologi Amanna Gappa