M. Ishom el Saha
Sekilasindonesia.id, || SERANG – Dalam ajaran Islam, apa yang disebut sunnah bukan bersifat tunggal (mono). Penggunaan kata sunnah sendiri tidak hanya dipakai dalam rumpun ilmu hadits akan tetapi digunakan juga dalam disiplin ilmu lainnya, seperti fiqh dan hukum Islam.
Oleh sebab itu patut dipertanyakan sikap sekolompok ummat Islam yang acapkali menggunakan label “mono-Sunnah” sebagai klaim kebenaran jalan pikirnya.
Seakan-akan sunnah sama dengan “like”, sedangkan yang tidak sejalur dengan mereka dianggap “dislike”.
Padahal dalam ilmu hadits, yang disebut sunnah bukan saja yang dikatakan, dipraktikkan, maupun ditetapkan secara langsung oleh Rasulullah Saw, tetapi termasuk sunnah dari sahabat senior dan sahabat junior.
Dengan konsep ini saja, sunnah bukan sesuatu yang mono, belum termasuk penggunaan kata sunnah dalam fiqh dan usul fiqh, misalnya.
Dalam ilmu fiqh dan usul fiqh, sesuatu disebut sunnah adalah perbuatan (bukan sumber hukum atau dalil) yang dianjurkan syariat untuk dikerjakan.
Dikarenakan bersifat anjuran maka tidak berdosa apabila sunnah ditinggalkan.
Istilah sunnah sendiri dalam ilmu fiqh terkadang disebut manzdubah, nafilah, mustahab, tatawwu’, dan ihsan yang menunjukkan pengertian bahwa sunnah adalah perbuatan yang positif.
Dalam hukum Islam, sunnah ada tibgkatan-tingkatannya. Ada yang disebut sunnah muakkadah karena Rasulullah Saw selalu mengerjakannya tanpa ada perintah wajib.
Misalnya mengerjakan salat bakdiyah sesudah mengerjakan salat wajib, membaca surat atau ayat al-Quran sesudah bacaan fatihah para rakaat pertama dan kedua, dan contoh lainnya.
Ada yang disebut sunnah ghairu muakkadah yaitu amalan yang dikerjakan Rasulullah Saw tetapi tidak rutin atau yang tidak selalu beliau kerjakan.
Misalnya salat qabliyah Duhur, Qabliyah Asar, Qabliyah Isya, dimana tidak selalu dilakukan Rasulullah Saw.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa sunnah bukan berarti “like” (cocok) sementara yang tidak dilakukan Rasulullah Saw sama dengan “dislike” (tidak cocok).
Sebab kalau Sunnah hanya dipahami sebagai sesuatu yang cocok maka alangkah sempitnya pemahaman agama kita.
Pemahaman sunnah yang sempit berdampak juga bahwa seolah-olah sesuatu yang sunnah menjadi wajib. Sesuatu yang sifatnya pilihan akan tetapi karena kita dituntut cocok maka menjadi keharusan .
Contoh memakai pakaian, memanjangkan janggut, cara makan yang dilakukan Rasulullah, apa kita harus cocok dengan kebiasaan Rasulullah tersebut ? Apakah yang tidak mengerjakan kemudian dianggap menyalahi cara Nabi?
Jawabannya tentu tidak. Cara makan, cara berpakaian Nabi yang dicontohkan tidak semuanya berkaitan dengan misi keagamaan yang ditentukan.
Lebih tepatnya, Rasulullah Saw melakukan itu karena menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di jaman beliau hidup.
Sementara jika cara yang kita lakukan berbeda dengan cara yang dilakukan Nabi maka hal itu bisa jadi bernilai positif karena sesuai dengan situasi dan kondisi di jaman kita.
Dengan catatan tidak ada dalil yang melarang kita melakukan hal hal positif yang sesuai dengan kehidupan di sekitar kita.
Jadi, sunnah itu bukan sesuatu yang mono tetapi perbuatan positif yang patut dikerjakan dan tidak ada kecacatan hukum di dalamnya.
Sebaliknya, jika sunnah diartikan sesuatu yang cocok dan yang tidak cocok dianggap salah dan bid’ah maka pandangan semacam ini justru cacat secara ilmu, dan ajaran agama.
Kita sudah paham bahwa yang wajib dikerjakan disebut fardu dan yang dilarang disebut haram.
Di luar itu ada yang disebut sunnah, mubah, dan makruh, sesuai seperangkat nilai yang terukur yang dikembangkan oleh para ulama.
Mereka menggunakan dalil dan teori, bukan sekedar “cocokologi”. Itu yang seharusnya dipahami!
Bagindo Yakub.