Takalar, Sekilas Indonesia | Kasus penetapan Pejabat Pelaksana Kegiatan (PPK) proyek rehabilitasi ruang kelas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Takalar inisial S sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Takalar mengundang perhatian para aktivis antikorupsi di Sulawesi Selatan.
Alasan di balik penetapan tersangka PPK ini dianggap tidak lazim karena berhubungan dengan kegagalan pencairan dana jaminan pelaksanaan.
Menurut PERATURAN LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2021 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH MELALUI PENYEDIA, jaminan pengadaan barang/jasa dapat berupa Bank Garansi atau surety bond.
Bank garansi diterbitkan oleh bank umum dengan mekanisme pihak penyedia menyetorkan jaminan pelaksanaan pekerjaan sebesar 5% dari nilai kontrak kepada bank garansi.
Sehingga ketika terjadi pemutusan kontrak, setoran tersebut sebagai jaminan pelaksanaan dapat langsung dicairkan dan disetorkan ke kas daerah.
Sementara surety bond adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Asuransi/Lembaga keuangan khusus.
Kelalaian PPK dalam mencairkan jaminan pelaksanaan adalah kesalahan administratif yang harus dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur Undang-Undang 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan/atau Undang-Undang 5/2014 tentang ASN.
Gagalnya pencairan jaminan, baik karena kelalaian PPK maupun wanprestasinya pihak penerbit jaminan adalah peristiwa perdata, yang seharusnya diselesaikan secara perdata pula.
“Jadi persoalan ini sangat jelas bahwa bukan perkara korupsi yang dilakukan oleh PPK,” ujar Aktivis Anti Korupsi Asrul Arifuddin, Jumat (2/2/2024).
Asrul menegaskan bahwa PPK tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang tertuang dalam UU Tipikor Pasal 2 dan Pasal 3 yang menekankan pada unsur memperkaya diri sendiri, melawan hukum, dan merugikan keuangan negara.
(*/Suh)