OPINI, SEKINDO.ID – Oligarki adalah suatu bentuk pemerintahan dalam sebuah negara yang kekuasaannya dipegang oleh kelompok tertentu. Kelompok ini biasanya berasal dari orang-orang dengan pengaruh yang kuat, bisa dilihat dari kekayaan, pendidikan, hingga hubungannya dengan pemerintahan bahkan militer.
Sebenarnya, oligarki bukanlah merupakan sistem resmi pemerintahan sebuah negara, melainkan hanya sebuah jalan yang dipergunakan oleh sebuah kelompok elit untuk kepentingan mereka sendiri. Bisa dikatakan, kekayaan adalah kunci dari oligarki itu sendiri.
Kelompok-kelompok tersebut berusaha untuk mencapai puncak kekuasaan melalui cara yang beragam untuk melipatgandakan kekayaan dan kekuasaannya. Itulah kenapa pada akhirnya hak-hak milik rakyat kecil menjadi dikesampingkan bahkan tidak dipedulikan.
Mengutip dari Islam, Oligarki Politik, dan Perlawanan Sosial oleh Abdur Rozaki, oligarki berasal dari bahasa Yunani yaitu oligarchia yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit. Oligo berarti sedikit dan archein berarti memerintah.
Dari istilah tersebut, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang politik kekuasaannya berada di tangan minoritas kecil. Menurut Endik Hidayat dari buku Oligarki Dalam Kekuasaan di Pilkades, oligarki berorientasi pada kepentingan pribadi.
Definisi tersebut menegaskan bahwa tujuan penggunaan kekuasaan yang utama bukanlah untuk masyarakat. Kekuasaan dengan demikian menjadi sesuatu yang ‘elitis’ dan tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap orang untuk menikmatinya.
Suatu organisasi cenderung mengarah ke oligarki karena secara ilmiah kekuasaan akan jatuh ke tangan segelintir kecil pimpinan dan mendorongnya menjadi birokratis. Organisasi tersebut memiliki sifat konservatif sehingga semakin kompleks dan mengarah menjadi oligarki.
Ciri Sistem Oligarki
Melansir dari buku Oligarki 2020 oleh Agus Riswanto, terdapat beberapa ciri-ciri tertentu yang hanya dimiliki oleh sistem pemerintahan oligarki. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain:
1. Kekuasaan Dipegang atau Dikendalikan oleh Kelompok Kecil Masyarakat
Ciri-ciri pertama dari sistem pemerintahan oligarki yang paling terlihat yaitu kepemimpinan dipegang oleh suatu kelompok kecil masyarakat. Sebagian besar kelompok kecil ini memiliki uang, dan dapat dengan mudah masuk ke dalam pemerintahan karena mempunyai uang serta kekayaan.
2. Terjadi Ketidaksetaraan dari Segi Material yang Cukup Ekstrem
Sistem pemerintahan oligarki bisa terjadi karena adanya kesenjangan dalam hal material yang ekstrim di masyarakat. Orang-orang kaya akan terlihat menonjol jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki uang.
3. Berkaitan Erat dengan Uang dan Kekuasaan
Diunggah dari buku Sistem Politik Indonesia oleh Humairah Almahdali, dkk, ciri sistem pemerintahan oligarki yang paling mendasar adalah memiliki kaitan erat dengan uang dan kekuasaan. Hal itu akan digunakan untuk semakin mengokohkan kekuasaan dan kekayaan kelompok tersebut.
4. Kekuasaan Menjadi Kunci Melestarikan Kekayaan
Kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang berkuasa dijadikan sebagai sarana untuk menambah kekayaan sepihak. Hak bagi rakyat kecil bukanlah menjadi tujuan utama kelompok ini.
Dampak Pemerintahan Oligarki
Dilansir dari situs komnasham.go.id, adanya sistem oligarki ini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi rakyat dan negara yang bersangkutan. Berikut adalah dampak pemerintahan oligarki:
1. Menghilangkan Hak Partisipasi Warga Negara
Jika sebuah negara mengalami atau menganut sistem pemerintahan oligarki, maka hal pertama yang akan terjadi adalah munculnya ancaman hak partisipasi warga negara. Kondisi ini bisa saja terjadi karena masuknya pengaruh oligarki ke dalam proses politik negara tersebut.
Hasilnya, proses politik yang berlangsung akan dipegang secara penuh oleh kelompok yang berkuasa. Sehingga rakyat-rakyat kecil kehilangan hak partisipasinya sebagai warga negara.
2. Terancamnya Kesejahteraan Masyarakat
Ancaman atau dampak pemerintahan oligarki selanjutnya yakni terganggunya kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. Kondisi ini bisa saja terjadi akibat pengaruh ikut campur tangan orang-orang berkuasa yang ingin melestarikan kekayaannya.
Fenomena dinasti politik rentan merusak dan menghancurkan proses demokratisasi karena hanya orang-orang itu saja, bahkan bisa di katakan hanya orang-orang yang memiliki privilage lah yang bisa berkuasa dan memiliki jabatan. Dinasti politik di suatu daerah juga akhirnya mengeliminasi kesempatan orang lain yang sebenarnya memiliki integritas dan kompentensi dalam memimpin dan menjadi kepala daerah. Karena yang diperlukan dalam setiap kontestasi politik adalah kompetisi integritas dan kapasitas, bukan kompetisi isi tas. Kondisi demikian pula yang memengaruhi tingkat partisipan politik yang semakin melemah.
Dinasti politik juga rentan melakukan hal korupsi, kolusi dan nepotisme, tentunya akan banyak merugikan secara langsung maupun perlahan kepada rakyat. Jika suatu daerah dikuasai dinasti politik, maka cemderung tidak akan berkembang dan korupsi. Akibat lain dari dinasti politik ialah APBD dan kekayaan alam di daerah dikuasai oleh keluarga tertentu. Hal tersebut tentu saja bisa membuat banyak kepala daerah melakukan korupsi.
Merujuk pada kajian John T. Sidel (1990) tentang local bossism misalnya, dapat disimpulkan bahkan kehadiran model-model oligarkis, personalisme, dan klientilisme (yang semuanya menjadi ruh (esensi) dari karakteristik dinasti politik( telah menghambat proses konsolidasi dan mpembangunan demokrasi di tingkat lokal. Dalam bukunya yang lain, Sidel bahkan menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa.
Hal-hal diatas sangat bertentangan dengan demokrasi yang ideal, seharusnya rakyat memiliki peluang lebih besar untuk terlibat dalam proses politik. Artinya seluruh masyarakat memiliki ruang partisipasi yang terbuka untuk ikut andil dalam berjalannya pemerintahan.
Beberapa negara yang sedang membangun dan menata diri setelah masa kolonial, salah satunya adalah Indonesia, memilih sistem politik demokrasi untuk menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan tujuan negara. Bahkan ketika sudah mendapatkan gelar negara demokrasi, dan mengubur sistem politik tradisional, faktor kekeluargaan atau kekerabatan masih lekat dalam mempengaruhi kehidupan berpolitik. Sehingga bisa dilihat dalam praktiknya, mengutamakan keluarga, kerabat, atau saudara masih terus dilakukan. Baik ditingkat nasional maupun lokal, praktik seperti ini dapat melahirkan dinasti politik.
Mengerucut permasalahan dinasti politik di salah satu Kabupaten tertua di Provinsi Sulawesi Tenggara yakni Kabupaten Muna, dinasti politik di Muna bermuara pada sosok tokoh senior Golkar yakni Ridwan Bae. Ridwan Bae merupakan salah satu mantan Bupati Muna dua periode. Kemudian dilanjutkan oleh Almarhum Dokter Baharudin tahun 2015, kemudian dilanjutkan oleh LM Rusman Emba tahun 2020 sampai sekarang.
Indonesia akan menggelar Pemilihan serentak di seluruh wilayah Indonesia baik Pilcaleg (DPRD, DPR Provinsi, DPR RI dan DPD), Pilkada, Pilwali, Pilgub dan Presiden dan Wakil Presiden.
Kabupaten Muna baru dua tokoh yang menyatakan sikap mencalonkan diri sebagai Bupati Muna 2024 yakni La Ode M. Rajiun Tumada dan LM Ihsan Taufik Ridwan.
La Ode M. Rajiun Tumada merupakan mantan Bupati Muna Barat yang saat ini menjabat sebagai Ketua MPW Pemuda Pancasila Sultra, Ketua Lemkari Sultra serta Ketua BSB Sultra.
Untuk LM Ihsan Taufik Ridwan merupakan anak dari Aleg DPR RI Ridwan Bae dan Keponakan dari Bupati Muna yakni LM Rusman Emba. Saat ini LM Ihsan Taufik Ridwan menjabat sebagai Ketua PB AMPG Muna Barat.
Menurut penulis Bapak La Ode M. Rajiun Tumada melawan kekuatan oligarki dan dinasti di Pilkada Muna 2024 nanti. Tentunya, kemenangan ada dalam genggaman suara rakyat. Hidup Rakyat…!!!
Penulis: LM Sacril, S. Sos