Sekilasindonesia.id ||PANGKALPINANG – Sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB) melakukan audiensi bersama Plt. Ketua DPRD Provinsi Kep. Babel di ruang kerja Ketua DPRD, Jumat (22/07). Adapun yang menjadi topik pembahasan terkait penolakan terhadap beberapa pasal yang tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Soalnya, RKUHP dinilai dapat memberikan dampak sosial dan meresahkan bagi masyarakat jika disahkan menjadi Undang-Undang.
“Kami mengkhawatirkan jika pasal-pasal ini disahkan akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan memberikan keuntungan bagi pemimpin ataupun penguasa di lembaga pemerintahan,” sebut Fenny selaku ketua rombongan yang juga sekaligus sebagai Ketua Dinas Kastrat BRM FH UBB.
Beberapa point penting lainnya yang disampaikan mahasiswa tersebut kepada Plt. Ketua DPRD diantaranya :
Pertama, pasal tersebut akan menimbulkan perbedaan persepsi antara kritik dan penghinaan bagi yang memberikan tulisan ataupun ungkapan, maka merasa dirinya telah memberikan kritik atau saran dan menggunakan tata bahasa yang benar bagi pembaca. Akan tetapi bagi pembaca lainnya dapat memiliki perbedaan persepsi yang mana dapat mengnganggap kritik ataupun tulisan tersebut masuk dalam pasal penghinaan.
Kedua, Pasal 218, 240 dan pasal 274 harus ditinjau kembali dan tidak menjadi penghambat disahkannya RKHUP mengingat banyaknya pasal yang bermanfaat dan tepat bagi negara Indonesia.
Ketiga, Pentingnya menyerap aspirasi dari rakyat dalam merumuskan undang-undang, agar uu yang ditetapkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Terkait hal tersebut Plt. Ketua DPRD Provinsi Kep. Babel, Adet Mastur memberikan tanggapannya, bahwa didalam RKHUP yang sedang dirancang dan dibuat oleh DPR RI haruslah dilihat secara lebih komprehensip dan menyeluruh mulai dari pasal-pasal berikut penjelasan yang terdapat didalamnnya.
“Kita harus melihat RKUHP secara keseluruhan mulai dari pasal sampai kepada penjelasannya, karena terkadang bahasa hukum ini multitafsir ,” kata Adet.
Berkenaan dengan pasal 218 yang mengatur kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden dimuka umum, menurutnya sudah selayaknya rakyat Indonesia menghormati sebagai kepala negara
“Kalau bukan kita sebagai rakyat yang menghormati presidennya, siapa lagi,” ujarnya.
Bukan berarti tidak boleh mengkritik, penyampaian kritik haruslah dilakukan dengan tata bahasa yang baik jangan sampai menghujat. Karena kebebasan berpendapat itu sendiri dilindungi oleh undang-undang. Bebas disini dalam arti kata harus mengikuti aturan-aturan yang ada.
“Beda pendapat itu hal yang wajar, hanya saja jangan sampai hak berpendapat itu dikerdilkan,” tukasnya.
Untuk itu dirinya bersama komisi I DPRD Provinsi Kep. Babel kedepan akan melakukan dialog bersama DPR RI untuk menyampaikan aspirasi rakyat ini dengan membawa ikut serta hasil kajian-kajian mahasiswa Fakultas Hukum UBB terebut.
“Apapun yang disampaikan adek-adek mahasiswa akan kita sampaikan, apa yang menjadi point-point krusial tersebut,” pungkasnya.
Turut hadir mendampingi kegiatan tersebut, Eko Sentosa, S.Mn., M.Si selaku Kabag Fasilitasi Penganggaran dan Pengawasan dan Agus Adi selaku Subkoordinator Fasilitasi Pengawasan.(*)