Sekilasindonesia.id, PASANGKAYU – Masyarakat Kabuyu masih mengklaim tanah adat diatas lahan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan PT Mamuang yang berada diwilayah Dusun Wayambojaya, Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar).
Warga Kabuyu tergabung dalam Komunitas Adat Suku Tado (KAST) memasang spanduk bertuliskan “tanah ini adalah tanah ulayat komunitas adat suku tado dan segala yang berada diatas tanah ini adalah hak ulayat (sebelum tahun 1991 dikawasan ini adalah hutan ulayat). Dasar ulayat putusan MK nomor 35/PUU-X/2012. Undang-Undang yang menghormati hak ulayat, pasal 18B ayat 2 UUPA nomor 5/1960 pasal 5”.
Ditemui Kepala Dusun (Kadus) Wayambojaya, Mohammad Matto alias Lallo mengatakan, dirinya menjabat sebagai Kadus Wayambojaya baru sekitar empat tahun, terkait selak beluk lahan HGU PT Mamuang dengan tanah ulayat tersebut, saya tidak terlalu memahami yang selama ini diklaim oleh warga Kabuyu.
“Sebagai Kadus, sangat mengharapkan kedua bela pihak untuk menahan diri, apabila ada yang merasa dirugikan terkait persoalan ini, silahkan menempuh jalur hukum, agar tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan,” singkat Lallo di kediamannya.
Mantan Kepala Desa (Kades) Martasari, Timotius saat ditemui di kediamannya, dia bercerita bahwa dirinya menjabat Kades Martasari waktu itu di tahun 1994 bersamaan dengan kepengurusan HGU perkebunan PT Mamuang.
“Permohonan HGU tersebut, diajukan PT Mamuang di tahun 1994 dan diproses tim panitia penyedia tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju, tim melakukan peninjauan lapangan atau lokasi tanah yang dimohonkan menjadi HGU oleh perusahaan PT Mamuang, waktu itu dipimpin Asisten I Mamuju, Daniel Tammati,”urai.
Ia juga menyebutkan, saat itu ditemukan sebagian tanah telah dikuasai masyarakat Kabuyu yang dipergunakan untuk pemukiman, dimana lokasi tanah tersebut merupakan perkampungan Kabuyu dan lokasi perkebunan.
“Atas kesepakatan antara pemohon HGU dengan tim dari Kabupaten Mamuju, lahan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan juga dipergunakan untuk pencadangan lokasi sekitar 250 Ha dikeluarkan dari permohonan HGU,”sebut Timotius.
Menurutnya, kesepakatan itu dituangkan dalam berita acara tentang hasil peninjauan lapangan areal HGU PT Mamuang oleh tim dalam rangka pemberian rekomendasi HGU tanah tidak bermasalah.
Setelah kesepakatan ini dilaksanakan, pihak PT Mamuang mengeluarkan lahan seluas 250 Ha, maka dilanjutkan proses HGU ketingkat Kanwil BPN Sulawesi Selatan, karena saat itu belum ada Provinsi Sulawesi Barat masih wilayah Sulsel.
“Seiring dengan pembukaan lahan (land clearing) dilakukan perusahaan PT Mamuang dengan membuka akses jalan kebun, maka lokasi perkampungan Kabuyu sangat mudah diakses,”ungkap Timotius
Selain itu, Timotius juga menjelaskan, dalam areal tanah HGU yang dimohon PT Mamuang itu tidak terdapat tanda – tanda penguasaan, kepemilikan, maupun penggunaan tanah oleh perorangan dan masyarakat setempat, karena merupakan tanah dikuasai langsung negara.
“Berdasarkan surat Kakanwil BPN Propinsi Sulawesi Selatan ditahun 1996, diterbitkan kepemilikan HGU kepada PT Mamuang sekitar 8.000 Ha,”katanya.
Timotius katakan, saat ini tidak lagi punya wewenang, namun sebaiknya kedua belah pihak antara masyarakat dan perusahaan duduk bersama membicarakan bagaimana membangun kemitraan agar saling menguntungkan.
“Saya kira keduanya (masyarakat dan perusahaan) harus membangun hubungan kemitraan, karena mau tidak mau, sampai kapanpun, mereka berdampingan antara komunitas masyarakat dengan pihak perusahaan,”paparnya.
Sambung Timotius, kalau toh kemudian kedua bela pihak ingin memastikan memiliki kekuatan hukum, maka perlu melalui jalur hukum, saya kira itu sangat bagus, namun alangkah baiknya untuk duduk bersama, agar selalu kondusif dan tetap suasana damai.
“Terkait yang diklaim sebagai tanah ulayat, saya tidak bisa memberikan komentar. Dan dari awal Dusun Kabuyu Tua itu tidak masuk dalam kawasan HGU PT Mamuang, alangkah baiknya kedua belah pihak untuk duduk bersama,”harapnya.
Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Pemerintahan Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Pasangkayu, Muhammad Abduh mengatakan, masyarakat adat Kabuyu itu menuntut hak tanah ulayat, dimana dari tiga kali tanah ulayat yang pernah diklaim, tidak ada satupun secara resmi tertulis masuk ke Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Pasangkayu.
“Saat dilakukan mediasi oleh Pemda Pasangkayu antara masyarakat adat dengan perusahaan, komunitas adat Kabuyu hanya berbicara secara lisan tanpa alas hak atau surat-surat resmi yang diperlihatkan waktu itu,”ucapnya Jumat (4/3/2022).
Menurutnya Abduh, secara aturan, penentuan masyarakat komunitas adat itu berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres), namun tidak mengatur tentang hak tanah ulayat.
“Kalupun tanah ulayat itu ada, tidak serta merta masyarakat adat langsung menguasainya, karena ada mekanisme mengaturnya, misalnya kalau lahan itu masuk diwilayah kawasan hutan, mereka (masyarakat) bermohon ke pemerintah melalui instansi terkait untuk dijadikan lahan produksi,”tuturnya.
Dirinya menyatakan, mereka mengaku masyarakat adat Kabuyu dan tidak pernah menuntut dari awal saat dilakukan proses HGU PT Mamuang, kenapa baru sekarang ini.
Intinya, tidak ada tanah ulayat di wilayah HGU PT Mamuang, termasuk diwilayah Kabupaten Pasangkayu, karena terbukti tidak pernah menuntut dari awal saat proses HGU, termasuk tidak pernah secara tertulis menyurat ke Pemda Pasangkayu.
“Kita duga, bahwa masyarakat adat Kabuyu terhasut karena ada oknum dibelakangnya, saya hanya meminta agar jangan terhasut, dimana beberapa warga bukan asal Kabuyu, melainkan warga luar ber-KTP dari Lalundu, kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng),”terangnya Abduh.
Kata Abduh, salah satu bukti bahwa HGU PT Mamuang itu memang sesuai prosedural, beberapa waktu lalu Kelompok Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Mamuju Utara (Pasangkayu) ajukan gugatan terhadap HGU PT Mamuang, namun ditolak Mahkamah Agung (MA) di Jakarta.
“Kami selaku Pemda Pasangkayu, mengimbau kepada masyarakat terkait klaim mengkalim tanpa bukti itu akan menggiring kita ke ranah hukum, sebab laporan secara tertulis saja dari masyarakat adat Kabuyu itu tidak ada,”urainya.
Abduh mengakui berdasarkan data dipegangnya, pengajuan HGU PT Mamuang tahun 1994, atas kesepakatan antara pemohon HGU (PT Mamuang) dengan Tim Penyedia Tanah Kabupaten Mamuju saat itu, lahan yang telah dikuasai masyarakat dan dipergunakan sekitar 250 Ha dikeluarkan dari permohonan HGU PT Mamuang.
“Kesepakatan itu dituangkan dalam berita acara pertanggal 28 April 1994, tentang hasil peninjauan lapangan areal HGU perkebunan kelapa sawit PT Mamuang oleh Panitia Tetap Penyedia Tanah Pemda Tingkat II Mamuju dalam rangka pemberian rekomendasi HGU tanah tidak bermasalah,”jelasnya.
Abduh mengungkapkan, berita acara kesepakatan ini ditindak lanjuti oleh Bupati atau Kepala Daerah Tingkat II Mamuju dengan menerbitkan rekomendasi nomor 522.12/828/IV/94/Ekon, tanggal 30 April 1994, tentang keterangan tanah tidak bermasalah di areal HGU perkebunan PT Mamuang terletak di Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, Kabupaten Mamuju (Pasangkayu), berdasarkan hasil peninjauan atau survey lapangan.
“Sementara surat Kakanwil BPN Provinsi Sulawesi Selatan nomor 045.2-478-1994, tanggal 15 Juni 1994 junto nomor 540.2-480-53, tanggal 10 Juli 1996, dan nomor 540.2-1039-53 tanggal 6 November 1996, ditujukan kepada Menteri Negara Agraria/BPN tentang usulan permohonan HGU PT Mamuang seluas 8.000 Ha,”katanya. (Ns/Roy)
Seharusnya Pemerintah Daerah Sibuk mencari solusi untuk masyarakat Kabuyu.