OPINI – Tak terasa Season akhir Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) secara serentak telah usai dipenghujun tahun, pelantikan Kepala Desa di Kabupaten Jeneponto dilaksanakan 30 Desember 2021 adalah momentum yang ditunggu oleh masyarakat.
Antusias masyarakat menyambut pelantikan Kepala Desa penuh dengan warna, tak sedikit masyarakat pendukung Kepala Desa terpilih melakukan ritual seperti riual Sujud Syukur, Puasa, Sedekah, dan ritual lainnya sebagai bentuk rasa sukur.
Tak lengkap rasanya jika proses Pilkades hanya diwarnai dengan rasa sukur. Pilkades adalah momentum politik atau pesta Demokrasi skala kecil namun di mata rakyat Desa sangat berarti bahkan lebih berkesan dengan pemilihan Pilpres atau Pilkada lainnya karena mereka merasa orang yang akan dipilih dan terpilih adalah seseorang yang dekat dengan mereka sehingga tak heran partisipan masyarakat terhadap proses realisasi Pemilihan sangat aktif.
Sisi warna lain berupa kekecewaan bagi masyarakat yang tidak terpilih jagoannya dalam bertarung. Aneka sumpah serapah yang terlontar ditambah perselisihan antar keluarga menyoal beda piihan bahkan pengusiran, penggusuran rumah warga secara paksa dikarenakan tak sejalan dengan Deal Politik kerap mewarnai.
Belum lagi bantuan yang sudah disalurkan ditarik kembali oleh Cakades Incumbent yang tak terpilih bahkan pengancaman pencabutan hak-hak Bansos kerap terjadi.
Tidak hanya itu, hal yang tak pernah Alfa dalam dunia pemilihan selain Janji Manis dari Kandidat adalah Money Politik. Money Politik bukanlah hal yang asing bagi masyarakat desa namun sudah sangat menjamur bahkan menjadi istiah ” Ada Uang, Saya Sayang di TPS” (Tempat Pemungutan Suara).
Hal ini seolah menjadi Budaya yang dilanggengkan.Kenapa? Persoalan Money Poitic dalam Pemilihan Kepala Desa disebut sebagai hal yang melanggar kedaulatan Demokrasi namun masih kerap dilakukan.
Banyak yang menilai Pilkades di bawah naungan Dinas Pembardayaan Masyarakat dan Desa (PMD) memiliki regulasi yang berbeda dibandingkan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Aturan main dalam Pemilihan Kepala Desa dianggap memiliki kekurangan secara “Teoritis dan Praktis”, bukan berarti Regulasi KPU tidak memiliki kekurangan.
Diantara kekurangan tersebut yakni terkait pengaduan atas penyelesaian perselisihan pada pasal 68 Perbup 2021 hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara. Terkai money politik tidak dikupas secara spesifik seperti Undang-undang Pilkada.
Sisi lain, aturan Pilkades dianggap memiliki kekurangan karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap regulasi Perbup sebagai pedoman. Artinya, sosialisasi Perbup penting terhadap masyarakat sehingga tercipta pemahaman dan proses demokrasi berjalan sebagaimana mestinya.
Pilkades di bawah naungan PMD ataupun KPU bukanlah sebuah persoalan akan tetapi apapun bentuk dari pelanggaran seperti Money politik dan lainnya adalah menciderai Demokrasi.
Pada intinya adalah ketidak-patuhan terhadap regulasi yang dicita-citakan bersama dalam Kedaulatan Demokrasi merupakan cikal bakal kegagalan dalam berdemokrasi.
Penulis : Sultriana (Akademisi UIN Alauddin Makassar)