PANGKALPINANG – Budaya belum kenyang kalau belum makan nasi terus berkembang karena kebiasaan. Padahal, makan nasi berlebihan setiap hari memicu risiko kenaikan berat badan, bahkan bisa menimbulkan diabetes. Itulah mengapa, ada baiknya membatasi konsumsi nasi, terutama jenis nasi putih.
Di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), budaya ini masih terus terjadi. Diversifikasi pangan selain nasi putih menjadi tantangan para stakeholders demi menjaga kesehatan masyarakat. Pada Talkshow “Diversifikasi Pangan Lokal, Lifestyle, Kesehatan, dan Perekonomian” di TVRI Babel, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Babel, Melati Erzaldi bersama Ahli Gizi Poltekkes Kemenkes Rahmawati dan Kabid Penyuluhan dan Pengembangan Pertanian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kemas Irfani Rahman menjadi narasumber, Kamis (25/11/2021).
Problematika kesehatan masyarakat tidak luput menyalahkan pemilihan nasi putih sebagai bahan makanan pokok. Risiko yang ditimbulkan menyebabkan kerentanan. Selain itu, Babel baru mampu memenuhi 25 persen permintaan kebutuhan pangan atas nasi putih. Sedangkan 75 persen kebutuhan dikirimkan dari daerah lain. Karena itu dibutuhkan makanan pokok lainnya sebagai pengganti nasi putih.
“Babel memiliki sumber daya alam dengan berbagai variasi pangan. Ketersediaan pangan menjadi hal yang pokok. Karena dengan pola diversifikasi pangan, masyarakat punya pilihan atas pangan dan harapannya pangan yang dipilih masyarakat merupakan non beras. Nasi Aru yang terbuat dari singkong bisa menjadi pilihan,” ungkap Kabid Penyuluhan dan Pengembangan Pertanian Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kemas Irfani Rahman.
Dijelaskan Ahli Gizi Poltekkes Kemenkes Rahmawati, bentuk pangan yang diperhatikan tidak hanya makronya saja, namun juga dari segi mikro. Masyarakat Babel rata-rata adalah konsumen garam. Nasi Aru memiliki kandungan mikro yang sangat bermanfaat. Nasi Aru memiliki kandungan kalium 10 kali lebih banyak dari nasi putih. Maka, kandungan garam dapat dinetralisir oleh kalium pada Nasi Aru sehingga dapat menghindarkan diri dari berbagai jenis penyakit.
“Kita harus mengedukasi masyarakat bahwa makan ubi atau singkong itu keren. Bahkan nutrisi terbaik pengganti nasi dengan jumlah karbohidrat yang sama bisa didapatkan dari singkong,” jelas Ketua TP PKK Melati.
Dirinya menjelaskan, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengedukasi masyarakat. Tidak akan ada masyarakat yang mau mengonsumsi dan mengolah bahan pokok pangan lain jika tidak mendapatkan informasi yang tepat.
“Ibu-Ibu sudah paham mengenai pentingnya diet. Gaya hidup dengan menjaga berat badan ini secara otomatis mampu meningkatkan kesehatan masyarakat. Ini sudah menjadi tren. Jadi tugas kita adalah menyuarakan bahwa ubi ini lebih sehat dari pada nasi, ubi juga bebas dari kandungan gluten. Lalu kita juga mendorong terciptanya diversifikasi dan inovasi pangan, kita mengadakan ‘Lomba Menu Bergizi Seimbang’. Semuanya pasti berupaya membuat variasi pangan. Kegiatan ini sudah pernah diadakan,” jelas Ketua TP PKK Melati.
Jika kebiasaan buruk dibiarkan terus menerus, tentu akan memberi dampak kesehatan berkepanjangan, dan masalah kesehatan masyarakat sulit di tuntaskan.
Penulis: Natasya