OPINI – Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 UUD menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum maka segala bentuk aktivitas dalam pergaulan masyarakat diatur oleh hukum demi menjaga tatanan sosial yang baik. Senada dengan hal tersebut, dalam doktrinya Roscoe Pound menyatakan bahwa “law is a tool of social engineering”, seyogyanya hukum dapat membentuk perilaku masyarakat yang sadar hukum.
Salah satu yang diatur oleh hukum dalam tatanan masyarakat adalah perkawinan, sejatinya perkawinan menjadi momen penting yang tak terlupakan untuk sebagian besar orang. Karena itu, perayaan dalam suatu perkawinan bertujuan untuk menunjukan status baru sebagai pasangan suami istri.
Melihat problematikan yang terjadi terkait nikah siri apakah dapat dibuatkan kartu keluarga (KK) atau tidak, permasalah ini menjadi dilematis di tengah-tengah masyakat akibat kurangnya sosialisasi serta pemahaman masyakarat terkait hukum perkawinan di Indonesia. Oleh karena itu penulis merasa bahwa hal ini perlu mendapatkan perhatian dengan memberikan pemahaman dalam perspektif hukum perkawinan.
Pada dasarnya di Indonesia pernikahan tidak saja harus mendapatkan pengakuan secara agama namun juga pengakuan negara. Namun dalam hal ini sebagian masyarakat kita masih melakukan perkawinan di bawah tangan atau biasa kita kenal dengan istilah nikah siri. Oleh karena itu, mengutip buku yang berjudul Nikah Siri Apa Untungnya? yang dituliskan oleh Happy Susanto, dalam bukunya siri didefinisikan dalam bahasa arab yaitu “sirrun” yang artinya rahasia.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa nikah siri merupakan perkawinan yang sah menurut hukum agama, tetapi tidak mendapatkan legitimasi atas hukum negara (tidak tercatat di Kantor Urusan Agama).
Merujuk pada UU perkawinan No.1 Tahun 1974 juncto UU No. 16 Tahun 2019 pasal 2 bahwa tiap-tipa perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Maka dari itu perlu dipahami bahwa perkawinan yang tercatat di KUA akan mendapatkan akta perkawinan sebagai bukti bahwa telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan dalam posisi menentukan sah tidaknya perkawinan.
Tidak adanya pengakuan dari negara berimplikasi terhadap istri dan anak dalam beberapa aspek baik secara administratif maupun kewarisan, sebagai konsekuensi hukum yang diterima.
Memotret polemik yang terjadi terkait diperbolehkannya nikah siri untuk membuat Kartu Keluarga, penulis berpendapat bahwa sepatutnya pemerintah tidak memberikan celah hukum agar tidak menimbulkan pemasalahan-permasalah baru kedepan dengan memperbolehkan hasil pernikahan siri untuk membuat KK.
Seyogyanya pemerintah mendorong masyarakat untuk melakukan isbat nikah (penetapan pernikahan) di Pengadilan terlebih dahulu agar mendapatkan pengakuan dari negara, barulah pasangan tersebut dapat membuat Kartu Keluarga sebagai pasangan suami istri.
Dengan adanya kebijakan pemerintah membolehkan justru menimbulkan dilematisasi di tengah masyarakat dan akan menimbulkan konsekuensi hukum kedepannya, maka seharusnya pemerintah bisa lebih tegas dalam hal ini untuk memberikan kepastian hukum.
Penulis : Firmansyah, S.H.I.,M.H. (Akademisi)