TANJUNGPANDAN – Mantan Ketua Bawaslu RI 2008-2011, Dr Nur Hidayat Sardini SSos MSi, berpendapat, dirinya cenderung tidak akan memaksakan untuk teruskan perkara semacam kasus Syarifah Amelia ke Forum Sentra Gakkumdu, melainkan cukup dihentikan demi hukum di Forum pembahasan Pengawas Pemilu.
Pendapat tersebut disampaikannya secara tertulis dalam memenuhi permintaan tim pembela Demokrasi Syarifah Amelia Nomor 00102/TPSA/XI/2020 tanggal 21 November 2020 yang ditandatangani Devi Indriani SH.
Dalam keterangannya, Nur Hidayat Sardini meminta izin berpendapat dengan memanfaatkan pengalaman pernah menjabat sebagai Ketua Bawaslu RI, Ketua Panwas Pemilu Provinsi Jawa Tengah Pemilu Tahun 2004, dan Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI).
Dipaparkan Nur Hidayat Sardini, secara Substansial frasa kalimat ‘Karena Kalau Bersih Pilkada Belitung Timur, maka yang menang adalah nomor 1 ?’ diucapkan dalam kalimat tanya (?).
Tampak dalam video, suasana peserta kampanye larut dalam perayaan dialog antara jurkam dan dan peserta kampanye sedemikian rupa, sehingga dinamika elektoral (baca:tahapan dalam metode kampanye) berhasil dengan baik.
“Dengan demikian menurut saya tujuan dari demokrasi elektoral, yang sering dikatakan ‘Pemilu sebagai pesta demokrasi’ berhasil dengan baik atau berhasil mencapai tujuannya, ” ujarnya.
Menurut Nur Hidayat Sardini, perihal ‘menghasut’ dari adegan yang ia tangkap dari video tergambar, bahwa massa kerumunan peserta kampanye tidak berubah menjadi marah, terbangkitkan emosional atau sentimentalitas, dan/atau membuat orang dan serta merta terhasut oleh akibat pesan-pesan yang disampaikan jurkam. “Malah saya lihat para peserta kampanye menikmati dari apa yang disampaikan jurkam. Untuk meyakinkan permasalahan ini, saya ingin mendudukkan makna kata ‘menghasut’ yanga mana menurut KBBI, 2000 diartikan (1) membangkitkan hati orang supaya marah (melawan, memberontak, dan sebagainya),” terangnya.
Perihal ‘memfitnah’, menurut Nur Hidayat Sardini, ia menangkap tidak ada hal-hal di luar pesan yang disampaikan terdakwa sebagai jurkam paslon. Jurkam sendiri tidak menyebut nama perorangan, nama institusi atau siapapun didalam urusan pemilu dan urusan di luar pemilu. Sebagaimana ‘memfitnah’ menurut KBBI, 2000 diartikan sebagai menjelekkan nama orang (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dan sebagainya).
Perihal ‘mengadu domba’ dari video tersebut saya juga tidak menangkap akan adanya terdakwa mengadu domba pihak lain, yang mungkin saja berselisih paham dan) atau sedang berada dalam konflik kepentingan dengan jurkam. Tidak tergambar sama sekali adanya kesan bahkan terdakwa sedang memancing-mancing suasana yang bakal mengeruhkan suasana sedemikian rupa, sehingga pihak lain (karena juga tidak menyebut nama seseorang atau nama lembaga atau pihak lain) dibentur-benturkan, diobok-obok, diaduk-aduk perasaan yang membangkitkan kebencian satu dengan lainnya,” urainya.
Kemudian, perihal Frasa ‘Karena Kalau Bersih Pilkada Belitung Tinur, Maka yang menang adalah nomot 1? ‘, maka dikatakan Nur Hidayat Sardini, bahwa Pilkada Beltim masih berlangsung dan dalam posisi sekarang sedang menyelenggarakan tahapan kampanye atau masa kampanye. Artinya pemilu masih berlangsung. Jika dikaitkan dengan ‘pilkada bersih’ maka pengertian pilkada bersih atau sebaliknya belum bisa dipastikan, belum layak untuk dinilai. Artinya Pilkada belum adanya pembandingnya, atau tidak dapat diberi tolok ukurnya, karena masih berlangsung (ongoing process) tadi dan seluruhnya itu pilkada tidak dapat atau belum dapat dipastikan bersih atau sebaliknya.
“Saya melihat dengan dasar ini pernyataan terdakwa ‘Pilkada Bersih’ lebih merupakan visi terdakwa untuk menyatakan harapan bahwa pilkada setempat sebagai pilkada yang bersih atau pilkada berintegritas.
Sedangkan frasa ‘Maka Menang Adalah Nomor 1?’ lebih merupakan harapan terdakwa sebagai juru kampanye, tentu menginginkan kemenangan untuk paslon yang didukungnya,” terangnya.
Dengan latar belakang di atas menurut Nur Hidayat Sardini, maka ketentuan pasal 69 huruf c Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang dalam bagian kelima larangan dalam kampanye ‘Melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat’ Tidak memenuhi unsur dan layak untuk dinyatakan bernilai sumir.
” Perihal niat buruk (means rea) sejauh yang saya baca dari hasil Berita Acara Klarifikasi oleh Bawaslu Beltim pada 03/11/2020, pandangan saya, motivasi terdakwa dalam berkampanye termasuk di dalamnya mengenai pernyataan dalam forum kampanye adalah untuk menciptakan pilkada bersih dan berkeinginan untuk mencapai kemenangan secara bersih pula.
Dalam kalimat yang disampaikan dalam Berita Acara Klarifikasi, terdakwa menginginkan kemenangan calon yang didukungnya supaya menang melalui cara – cara yang bersih, dan karena itu lah mengapa ada lembaga semacam Pengawas Pemilu yang tugasnya untuk memgawasi pilkada,” tegasnya.
Dari keterangan diatas, sulit untuk ditarik kedalam suatu konstruksi bahwa terdakwa memiliki niat buruk untuk tujuan, maksud, dan pelaksanaan diluar yang dinyatakan dalam konteks pemilu bersih.
Kemudian, Secara penanganan dan pengawasan jajaran Bawaslu Beltim, dari dokumen yang diperlihatkan, terungkap fakta bahwa kejadian perkara pada 14 Oktober 2020 di Air Riak Desa Simpang Tiga Kecamatan Simpang Renggiang, Belitung Timur. Kejadian dilaporkan oleh pelapor setelah melihat akun facebook terdakwa Senin (26/10/2020) pukul 20.45 WIB, setelah juga diunggah pada Kamis (15/10/2020). Diluar hal tersebut, kejadian itu disiarkan secara live melalui instagram dan diunggah pada esok harinya Kamis (15/10/202).
Dalam surat dakwaan Nomor Reg.Perkara PDM-01/MGR/Eku.2/11/2020 disebutkan bahwa hadir pada saat kampanye oleh terdakwa dihadiri oleh jajaran Bawaslu Beltim (Panwascam) serta jajaran KPU Beltim (PPK dan PPS) dan melakukan monitoring.
Terkait perihal tersebut, Dirinya memberikan pandangan, yakni ; Mempertimbangkan Kronologis kejadian, seharusnya laporan diproses paling lama/lambat pada 15 oktober 2020, berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2) perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020 tentang penanganan pelanggaran pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota disampaikan 7 hari terhitung sejak diketahuinya dan/atau ditemukannya pelanggaran pemilihan. Dalam perkara ini laporan disampaikan pelapor ke Bawaslu setempat pada 26/10/202, sehingga melewati waktu kurang lebih 12 hari.
Dengan demikian, perkara ini sejak awal sudah kadaluwarsa atau melebihi tenggat waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang – undangan, dan karenanya perkara ini harus dinyatakan batal demi hukum.
Mempertimbangkan kehadiran jajaran Panwascam dalam forum kampanye tersebut untuk melakukan pengawasan pemilu secara langsung sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 4 huruf d Perbawaslu Nomor 17 Tahun 2017 tentang pengawasan kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Namun jajaran Panwascam setempat tidak memggunakan kewenangan yang melekat kepadanya, sebagai berikut ;
Panwascam seharusnya dapat mengingatkan kepada terdakwa seandainya dinilain melakukan pelanggaran, melalui upaya untuk memgingatkan kepada yang bersangkutan, dengan mekanisme sebagaiman diatur dalam Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 terutama terkait dengan ketentuan pasal 6 ayat (2) huruf c Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017. Dalam pencegahan dan penindakan, Bawaslu seharusnya mengingatkan/menegur secara lisan saat itu jika mendapati terdakwa mengindikasikan melanggar larangan kampanye. Dalam banyak kesempatan, pimpinan Bawaslu menekankan pencegahan daripada pendindakan.
Kemudian, kehadiran Panwaslu yang hadir dilokasi dalam melakukan pengawasan merupakan pihak yang mengetahui kejadian, seharusnya menjadikan hal tersebut sebagai temuan, sehingga tidak kadaluwarsa sebagaimana diatur pada ketentuan Pasal 22 Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017.
Dengan mempertimbangkan hak tersebut, jajaran Pengawas Pemilu setempat tampaknya lebih banyak mengutamakan penindakan daripada pencegahan, sedangkan dalam menangani perkara ada hal yang luput dengan tidak memanfaatkan kewenangan yang melekat kepadanya.
Lebih lanjut, dari perihal yang dijelaskan diatas Dirinya berharap pendapat tersebut memberikan pengayaan pemahaman dalam perkara Syarifah Amelia ini yakni ;
Bahwa tidak adanya hal yang mencukupi untuk terpenuhinya unsur – unsur larangan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Lolitik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat sebagaimana maksud ketentuan Pasal 69 huruf c Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Kemudian ada prosedur yang luput mengenai langkah jajaran Bawaslu Beltim terutama terkait lebih dari 7 hari sejak diketahuinya dan/atau adanya prosedur yang luput dan yang seharusnya dilakukan oleh jajaran Bawaslu setempat itu untuk menggunakan kewenangan yang melekat kepadanya dengan tidak melakukan teguran atau peringatan kepada terdakwa sebagaimana semangat Pengawasan Pemilu yang menitikberatkan pendekatan pencegahan daripada penindakan.
Andaipun jajaran Bawaslu ingin melakukan upaya penindakan, harusnya mereka sejak awal menjadikan perkara ini sebagai temuan. Melalui skema temuan hasil pengawasan, maka supaya perkara ini tidak cacat formil sejak awal.
Jika ditanyakan kepada saya, menurut pengalaman saya yang pernah menjabat ketua Panwas Pemilu Provinsi Jawa Tengah dalam pemilu Tahun 2004, Ketua Bawaslu RI 2008-2011, Anggota DKPP RI 2012-2017, dengan rendah hati saya cenderung tidak akan memaksakan untuk meneruskan perkara semacam ini ke forum Sentra Gakkumdu, melainkan cukup dihentikan demi hukum di Forum pembahasan Pengawas Pemilu,” kata Nur Hidayat Sardini.
(red)