PINRANG – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan bersama Pemda Pinrang terus untuk mendorong minat untuk mengembalikan budidaya udang sitto (windu). Gubernur SulSel, HM Nurdin Abdullah meyakini sitto adalah keunggulan SulSel dan kejayaannya seperti puluhan tahun lalu bisa kembali.
“Dengan cara menghadirkan benur yang berkualitas. Terus menghadirkan kualitas air diperbaiki, hadirkan teknologi”, imbuhnya.
Hal itu disampaikan pada panen udang sitto Desa Waetuoe, Kelurahan Lanrisang, Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang, Senin (16/11/20). Wilayah itu merupakan lokasi budidaya windu ramah lingkungan.
Pembudidaya tambak udang windu di Kabupaten Pinrang menerapkan teknologi konvensional. Sejak ditemukan makanan alami Phronima Sp beberapa tahun silam, pembudidaya makin membangkitkan semangat budidayakan udang windu.
“Budidaya di sana, sistem budidaya kita di Pinrang itu tradisional, betul murni tradisional, kita tidak pakai pakan buatan, tetapi pakan alami”, ujar Taufik.
Adalah Pendamping sekaligus Penyuluh Petani Budidaya Windu Lanrisang. Zat kimia tidak digunakan kata dia, tapi menggunakan bahan organik.
“Kita pakai pakan alami Pronima Suppa, Tekniknya kita kembangkan dulu pronima baru tebar udang. Kalau lainnya tebar udang dulu baru kemudian kita kasih makan. Kita hidupkan dulu pronima, baru kita tebar, di pembudidayaan itu juga ada kita istilah bank pronima, jadi ada petakan untuk pengembangan di situ. Untuk biang (indukan)-nya, pronima”, jelas dia.
Ketertarikan pembudidaya terhadap komoditi udang windu selain harga jual yang terus meningkat, juga ukuran (size) kecil diminati pasar Jepang. Udang ini juga membawa pengaruh positif pada pola budidaya.
Udang windu sejak dahulu hingga kini merupakan salah satu komoditas unggulan sektor perikanan Kabupaten Pinrang. Kejayaannya telah ada sejak tahun 1980-an.
Dikutip dari bpsdmkp.kkp.go.id, sejak tahun 2005 ditemukan populasi Phronima Suppa (Phronima sp) jenis mikro crustacea yang hidup secara alami pada perairan tambak tertentu di desa Wiringtasi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang. Phronima sp tidak ditemukan pada tambak di luar kedua desa tersebut (Fattah dan Saenong, 2008).
Saat ditemukan diawal, masyarakat lokal menyebutnya dengan nama were. Itu diartikan sesuai bahasa Bugis yakni berkah.
Phronima Suppa juga kaya akan nutrisi penring dalam membangun sistem immunitas internal pada udang serta memperbaiki struktur tanah dan lingkungan perairan.
Hasil analisis proksimat Phronima Suppa memiliki kandungan air 15,2 persen, abu 30,26 persen, protein 38,74 persen, lemak 23,58 persen, serat kasar 12,22 persen dan betn 0 persen (Fattah et al.,2015).
Udang dimaksud, setelah dipelihara sekitar 40 hari sudah bisa panen sebanyak 200-250 kg/Ha dengan ukuran bobot 16-20 gram/ekor (50-60 ekor/kg).
Ketua Komunitas Pemerhati Udang Windu (Kontinu) Indonesia, Syarifuddin Zain memgungkapkan bahwa kawasan tersebut menghasilkan udang ramah lingkungan. Dan tidak menggunakan pestisida.
“Bahan organik seperti yang kita buat, yang kita buat sebagai penganti pupuk yang dari daun-daunan saja. Tetapi ada satu ekstraknya yang kita buat sendiri”, terangnya.
Kontinu Indonesia juga berperan penting, misalnya mencari bahan baku yang lebih murah, dimana pembudidaya dapat membawa sendiri bahannya untuk diolah dengan memberikan subsidi.
“Dia hanya membayar 1/4-nya saja dan sudah dirasakan manfaatnya”, tegasnya.
Reporter : Firman