OpiniPendidikanPolitik

Dilematisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Restorasi Sistem Pilkada 2020

×

Dilematisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Restorasi Sistem Pilkada 2020

Sebarkan artikel ini

OPINI-Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan terselenggarakan pada 9 Desember 2020 di 270 daerah, tepatnya 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang ada di Indonesia. Pilkada tersebut akan menjadi babak baru bagi setiap orang yang ingin mewakafkan dirinya untuk memajukan daerah yang ingin dipimpinnya jika ditakdirkan untuk terpilih sebagai pemenang kontestasi politik tersebut.

Progresifitas sebuah daerah ditentukan oleh pemimpin yang terjewantahkan pada setiap kebijakan (policy) pemerintah yang akan menentukan kesejahteraan (prosperity) dan kemajuan sebuah daerah merupakan harapan seluruh masyarakat itu sendiri. Pilkada yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali memiliki problematika dalam setiap porsinya, dalam artian bahwa berbagai problematika yang terjadi adalah bentuk pluralisme masyarakat dalam tatanan demokrasi yang menjadi sebuah tantangan bagi penyelenggara pemilu sebagai upaya menciptakan atmosfer pilkada yang efisien dan efektif.

Click Here

Partisipasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pilkada nampaknya menjadi sebuah polemik yang muskil untuk dihindari pada setiap pesta pemilu. Netralitas ASN dalam pilkada menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang pada umumnya terkait bagaimana ASN mengambil peranan dalam politik pemilu, apalagi jika salah satu calon yang merupakan birokrasi pemerintah atau bahkan petahana (incumbent) yang mengikuti kontestasi politik pemilu kepala daerah tersebut sehingga berpotensi menggiring ASN untuk melakukan politik praktis untuk kemenangan salah satu pasangan calon (paslon) tertentu.

ASN (Aparatur Sipil Negara) yang lazimnya tidak perlu larut dalam hiruk-pikuk perpolitikan jika berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP No. 11 tahun 2017 dan Perbawaslu No. 6 Tahun 2018 serta Perbawaslu No. 14 Tahun 2017 . Namun karena alasan peningkatan status dalam birokrasi tertentu dengan modal peruntungan, niat pribadi bahkan dikarenakan “keterpaksaan” oleh salah satu paslon atau tim sukses calon yang pada akhirnya untuk determinasi posisi/jabatan pada birokrasi tertentu. Padahal dalam undang-undang dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) sangat rinci mengatur bagaimana ASN wajib untuk menjaga Netralitas agar Pemilu berjalan dengan seimbang dan adil, sebab keberpihakan ASN akan memberi efek negatif pada pelayanan masyarakat serta ketidak-efektifan penyelenggaran pemerintahan yang dapat mencitrakan bad governance yang berkepanjangan.

Keberpihakan ASN dalam setiap pemilu sebenarnya dilandasi oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, kepentingan mempertahankan jabatan yang dilakukan oleh pimpinan dari sebuah birokrasi atau perangkat daerah sehingga hal inilah yang menyebabkan sebagian ASN mengalami situasi yang cukup dilematis. Kebimbangan tersebut memposisikan ASN pada ruang yang terhimpit, Di satu sisi, ASN harus netral pada semua calon atas dasar kesadaran amanat konstitusi dan di sisi lain, ASN harus menunjukkan keberpihakan dan melakoni politik praktis untuk kemenangan salah satu paslon dengan mahar posisi birokrasi pemerintahan tertentu. Kedua, ketidakpahaman atau bahkan gagal paham (misunderstanding) ASN terhadap konstitusi mengenai netralitas ASN menjadi magnet keberpihakan dalam kontestasi perpolitikan. peristiwa ini riskan menjerat ASN melakukan pelanggaran terhadap konstitusi yang berlaku. Hal inilah yang menegasikan citra buruk pada tubuh ASN. Ketiga, tidak adanya kejujuran yang dimiliki ASN menjadi cikal-bakal keberpihakan dalam kontestasi pilkada. Keempat, sanksi yang diberikan terhadap ASN terhitung tidak memberikan efek jera sehingga sekelimut permasalahan ini menjadi alasan yang membuat setiap pihak baik penyelenggara maupun Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus bekerja ekstra dalam upaya menyelamatkan marwah demokrasi tanpa batasan yang keliru.

Keterlibatan ASN dalam setiap pekan Pemilu telah menjadi rahasia umum apalagi masyarakat yang terkesan keliru dan kurang paham dalam pendidikan pengawasan Pemilu yang membuat keterlibatan ASN dalam setiap tahunnya cenderung terjun bebas dan bahkan jumlah pengaduan terkait netralitas ASN terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada akhirnya, sebagai proses penyelesaian permasalahan yang merugikan ini, maka harusnya ada langkah solutif yang semestinya ditawarkan dan dijalankan dengan baik oleh penyelenggara pemilu dan tentunya pengawasan partisipatif harus terus disuarakan oleh setiap lapisan masyarakat terkhususnya pemuda sebagai pembawa perubahan yang dalam lanjutannya pemuda memiliki pola pikir lebih segar dan konstruktif menghadapi berbagai problematika terkhusus pencapaian misi netralitias dalam pilkada pada Desember mendatang. Apalagi Kabupaten Bulukumba yang tengah memasuki bonus demografi menjadi peluang besar untuk mengubah paradigma masyarakat bahwa Politik isinya hanya tentang money politic, maka dari itu saatnya pemuda mengambil peran strategis demi menjalankan setiap tahapan menyukseskan pilkada aman, damai dan tertib.

Pemberian ruang berekspresi kepada pemuda agar pemuda lebih aktif didalam sosialisasi pemilu sehat sebagai upaya memanfaatkan potensi pemuda yang memang lebih dibutuhkan untuk bergerak dilapangan dan memberikan pelatihan – pelatihan agar lebih kreatif dan produktif, sehingga mendorong pemuda menjalankan kegiatan–kegiatan yang tentunya positif bagi mereka serta merupakan problem solving dalam menjawab tantangan bonus demografi Kabupaten Bulukumba. Tindakan tersebut ialah upaya realisasi masyarakat paham pemilu sehat tercipta dan setiap lapisan masyarakat mengetahui ciri–ciri black campaign yang tidak tepat untuk dibiarkan terus–menerus terjadi pada setiap pekan pilkada.

Pada akhirnya restorasi sistem pilkada dari hulu ke hilir adalah cara terbaik mengubah paradigma masyarakat bahwa setiap calon yang terpilih dari setiap pekan pemilu harus memiliki anggaran besar (high budget) dan calon yang memiliki anggaran kecil (low budget) perlu berpikir ekstra atau sebaiknya ikhlas dan fair ketika pada akhirnya tidak terpilih. Hingga pada muaranya point–point penting yang menjadi bagian dari bagan atau kerangka besar yang perlu untuk disatukan agar mencapai satu tujuan yaitu keadilan pemilu bersama masyarakat untuk pilkada lebih baik kedepannya. Kemudian, harapan besar kesuksesan pilkada ada di tangan pelaksana pemilu dan masyarakat agar tercipatanya kondisi pilkada sehat tidak hanya menjadi wacana klasik namun dapat disatupadukan dalam sebuah narasi nyata demi sebuah kemajuan bangsa di masa mendatang.

Penulis : Andi Chaidir Alif (Ketua PMII Cabang Bulukumba)

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d