BANGKA BELITUNG – Kerugian besar yang dialami oleh PT. Timah (persero) Tbk yang diduga sebagai ekses dari kerjasama dengan pihak ketiga layak menjadi pertanyaan besar.
Setelah Direktur Keuangan PT. Timah Tbk, Wibisono menyampaikan di hadapan wartawan pada, Selasa (14/07/2020) malam lalu pada acara diskusi serta silaturahmi dengan sejumlah wartawan, Wibisono mengatakan bahwa PT. Timah sendiri tidak menyebut pengeluaran besar tersebut sebagai pembelian ore (biji timah). Akan tetapi itu merupakan kompensasi yang diberikan, bahkan hingga pada level pelaku tambang terbawah yakni pelimbang. Namun fakta di lapangan sangat berbeda. Perusahaan tambang pelat merah itu dianggap belum membayar biaya pengangkutan salah satu perusahaan di Bangka Belitung.
Pimpinan perusahaan yang tak disebutkan namanya, TAN, mengatakan, PT Timah belum membayar selama 10 bulan sejak perusahaannya bermitra dan melakukan pekerjaan pengangkutan biji timah.
“General permasalahan terjadi ketika kami menjadi mitra PT Timah yang diberikan perintah kerja pada bulan September 2019 oleh PT Timah kemudian hingga saat ini belum dibayarkan,” ujar TAN dalam keterangan yang seperti dikutip dari Suara.com, Rabu (22/07/2020).
“Namanya manusia, walaupun 10 bulan perusahaan saya belum dibayarkan haknya tetapi saya tetap meyakini PT Timah bukan oknumnya. Informasi ini unik. Ada indikasi abuse of power, ada indikasi kesalahan prosedur kemudian menyalahkan pihak lain,” tambah dia.
Dihubungi terpisah, Pengacara TAN, Otto Hasibuan mengatakan, sebenarnya pekerjaan yang dilakukan oleh TAN telah sesuai prosedur PT Timah. Bahkan, lanjut Otto, perusahaan TAN telah mendapat berita acara pengangkutan.
Namun alih-alih mendapat bayaran, jelas Otto, PT Timah malah memperumit penagihan pembayaran tersebut.
“Dia (PT Timah) bilang ini ada pemeriksaan dari Polda, kita heran urusannya apa? Katanya ada pemeriksaan kasus-kasus apapun nggak dijelaskan. Tapi katanya terkait dengan kita punya. Kemudian kita mendapatkan surat dari Polda yang menyatakan, (bahwa) yang kita punya ini tak diperiksa oleh mereka, karena itu, kan harus dibayar yang kurang lebih Rp 3,7 miliar,” tutur Otto.
Kemudian, kata Otto, setelah ditagih kembali pembayaran, PT Timah berdalih akan melakukan uji kembali. Padahal, pengangkutan biji timah yang dilakukan perusahaan TAN telah diuji dan telah sesuai prosedur.
“Sekarang mereka mengeles karena dikatakan ada yang salah, Kalau ada yang salah, kenapa diteken berita acara itu? Kemarin kita diminta berunding, dia bilang ada kecurigaan kami bahwa ini ada permainan, kalau kecurigaaan itu harus dibuktikan. Jangan kecurigaan jadi alasan nggak bayar, nah dia minta dilakukan uji ulang, boleh tapi barang yang mana yang diuji,” ungkap dia.
Dalam hal ini, Otto akan mengambil langkah somasi yang kali terakhir untuk penagihan tersebut. Akan tetapi, jika PT Timah kembali tak melakukan pembayaran, maka Otto akan mengajukan Pailit terhadap PT Timah.
“Saya pikir ini itikad buruk. Oleh karena itu, kita akan somasi untuk terakhir kalinya. Nanti kalau tak berhasil, kita terpaksa mengajukan pailit PT Timah, kalau tak mau membayar, kan syaratnya dua utang terpenuhi kan bisa pailit,” katanya.
Sebelumnya, Wibisono pun mengaku bahwa ia pernah mendapat pertanyaan “Mas gak wajar itu, namanya biaya pengangkutan kok mahal banget. Yang namanya biaya pengangkutan itu berat, volume kali kan dengan jarak, yang ini kan kemahalan” Menurut Wibisono lagi bahwa hal itu lah yang harus diluruskan bahwa. Bahwa pengangkutan yang dimaksud dalam kemitraan ini adalah kegiatan pengangkutan yang harus ditimpali dengan kompensasi.
“Ini lah yang kadang-kadang perlu kita garis bawahi. Pengertian pengangkutan adalah, yang melakukan penambangan di IUP PT. Timah yang mana tidak bisa kita beli, tapi kita ganti namanya, agar tidak menyalahi aturan ketentuan perundang-undangan. Begitu juga pengarungan juga sama. Kira kira begitu. Mungkin boleh kita tanya jawab, karena akan jadi masukan bagi kami untuk menyampaikan ke ESDM. Karena Kami saat ini juga akan mengganti istilah yang namanya pengangkutan, pengarungan dan sebagainya akan kita sampaikan. Ini akan menjadi masalah-masalah hukum dikemudian hari, karena orang melihat lho kok mahal banget hanya sekedar ngangkut dan ngarungi. Tapi ini juga sudah kita sounding juga ke kementerian terkait agar ke depan masalah yang seperti ini tidak menjadi praduga bahwa PT. Timah melakukan kesalahan,” jelas Wibisono.
Wibisono mendefinisikan bahwa kompensasi adalah cost yang disepakati pada bagian awal dalam rangka kemitraan membantu kegiatan produksi bijih timah berupa penambangan, pengarungan dan hingga pengangkutan.
“Saya waktu pertama gabung selalu mengatakan kalimat pembelian, apa sih bedanya. Begitu kita baca dan baca memang ada kalimat yang namanya demikian itu. Apakah kompensasi itu adalah wise (kebijakan)? tidak. Karena kalau kompensasi artinya bapak bekerja sama saya, membantu saya, bapak akan diupah, bukan. Tetapi dia mengeluarkan daya upayanya mulai dari biaya orang, biaya solar dan sebagainya serta biaya keselamatan kerjanya. Karena dalam Surat Perintah Kerja (SPK) kita, bahwa K3LH itu harus dijamin. Harus itu ditegakkan. Mangkanya cost itu disepakati diawal misalnya 120, 125, itu dari awal,” jelas Wibisono saat menjawab pertanyaan wartawan.
Reporter : Budi (Tim)