OPINI – Berdasarkan data per senin (13/4/2020) jumlah infeksiCovid-19 di Indonesia telah mencapai 4.557 kasus (kompas).Per harinya kasus demi kasus bertambah.
Di Sulawesi Selatan misalnya data terakhir menujukkan 222 kasus, menyalip JawaTengah dengan 200 kasus. Ini tentu hal yang membuat kita ketarketir, apalagi kondisi yang serba tak pasti. Tak sedikit yang susah, juga banyak yang menderita.
Covid-19 atau korona memang telah banyak merontokkansendi-sendi perekonomian banyak Negara, berdampak padakehidupan ekonomi dan sosial setiap lapisan masyarakat.
Mereka yang memiliki rumah luas dan bertembok tinggimungkin bisa menutup rumahnya setelah terlebih dulu menyetokmakanan untuk jangka waktu tertentu. Mereka yang bisa bekerjadi depan laptop mungkin masih bisa work from home selamainternet menyala.
Anak-anak mereka masih bisa bermain dihalaman rumah yang luas sementara pintu gerbang terkuncirapat. Dan mungkin mereka masih bisa merasa nyaman.
Tetapi bagaimana dengan masyarakat kelas ekonomibawah? Apakah mereka bisa bertahan bila dilarang keluarrumah? Di manakah anak-anak mereka bermain bila ruang-ruang publik juga ditutup? Bahkan hingga masjid pun ditutup?Sementara mereka tinggal di rumah-rumah petak yang salingberhimpitan dan hampir tanpa ruang terbuka yang nyaman.
Belum lagi bila mereka termasuk kelas ekonomi yang harusbekerja untuk bisa makan di hari yang sama.
Sementara itu, himbauan untuk Social Distancing atau pembatasan jarak terus digaungkan dan diefektifkan. Baru-baruini DKI Jakarta telah mengimplementasikan Pembatas SosialBerskala Besar (PSBB) untuk memutus rantai penularan covid-19 ini.
Pemberlakuan PSBB ini membuat pekerja sektorinformal, ojek daring & pekerja harian lepas paling merasakandampaknya, pendapatan mereka rerata rontok. Hal inilah yang patut jadi perhatian melalui program Bantuan Sosial (Bansos).
Peran Mesjid
Masjid adalah simbol kejayaan umat Islam, episentrum pendidikan, ekonomi, sosial & politik. Kala Rasulullah pertamakali hijrah dari Mekkah ke Madinah yang pertama kali dibangunadalah Masjid, Masjid Nabawi.
Mesjid adalah pondasi kuat umat untuk bersatu padu guna mengembalikan masa kegemilanganislam. Pun di tengah Pandemi Covid-19 saat ini yang menimpakita, peran mesjid sudah seharusnya hadir dan dirasakankeberadaannya.
Di sisi lain rilis Tirto pemerintah melalui Program JaringPengaman Sosial menggelontorkan dana sebesar Rp405,1 triliununtuk penanganan wabah covid-19. Dari total itu, Presidenmengalokasikan jaring pengaman sosial sebesar Rp110 triliununtuk masyarakat lapisan bawah. Pertama, Program KeluargaHarapan (PKH) Kedua, Program Kartu Sembako. Ketiga, program kartu prakerja. Program keempat, keringanan tarif listrik.
Program Jaring Pengaman Sosial yang dilakukan olehpemerintah, hemat saya belumlah menyelesaikan permasalahan sepenuhnya.
Boleh dikata sifatnya masih “temporer”. Olehkarenanya, butuh peran serta seluruh elemen untuk gotongroyong menyelesaikannya, termasuk mesjid.
Mesjid tak bolehter-“distancing”, ia harus turun tangan membantu pemerintah memerangi dampak yang ditimbulkan oleh covid-19. Jadi problem solving–lah.
Mari kita berandai-andai jumlah mesjid seperti yang dikutip dari Republika, kata Jusuf Kalla, Ketua Dewan Mesjid Indonesia (DMI), kita punya kurang lebih 800.000 mesjid. Misal seperempat dari itu 200.000 adalah mesjid besar atau agungpunya rerata sedikit-dikitnya saldo keuangan 5 juta, kita sudahpunya 1 triliun.
Selebihnya 600.000 mesjid punya rerata saldosedikit-dikitnya saldo keuangan 2 juta, 1,2 triliun. Total denganperkiraan itu saja 2,2 triliun sudah bisa membantu masyarakat.
Dana mesjid yang segitu besarnya sudah dapat meng–coverapa yang belum diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Apalagi terkadang tidak sedikit bansos dari pemerintah yang taktepat sasaran, disebabkan data yang abrudul, tingkat nepotismeyang “sudah” mendarah daging dan yang paling parah di Bangka Belitung terjadi deskriminasi terhadap penerima bansos, hal ini tentu sangat disayangkan terjadi di tengah situasi genting.
Inilah yang saya gugat. Inilah momennya guna mengembalikan fungsi mesjid sebagaimana mestinya, diarahkanke kemaslahatan yang lebih luas dan hajat hidup orang banyak.
Bukan lagi berfokus pada infrastrukur semata. Menjadi sebuahironi, ketika dana masjid berkelebihan sedang di sekitarnya adamasyarakat tak berkecukupan. Tidakkah kita lebih berbahagia, ketika dana yang kita titipkan itu kembali kepada masyarakat disekitarnya juga?.
Bermanfaat besar bagi orang banyak, bahkanmungkin saja dapat mengubah hidup menjadi berkecukupan. Ketimbang dana hanya digunakan untuk keperluan operasional.
Masjid dalam hal ini harus menjamin bahwa tidak adawarganya dalam radius tertentu yang kelaparan akibatmenurunnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Misal dalam sebuahkelurahan beberapa mesjid yang ada di sana saling berkordinasi, berkomunikasi dan bertukar informasi lalu merumuskan tentangbantuan apa lagi yang urgent akan diberikan kepada masyarakatdi wilayahnya. Jika semua mesjid kompak seperti itu, amanlah masyarakat kita.
Akhir kata masjid kita harapkan bisa menjadi gardaterdepan tindakan gotong-royong dan memupuk rasa senasibsepenanggungan masyarakat dalam menghadapi wabah covid-19ini. Mengutip kolom dari Syaifullah Amin, Ketua Takmir Masjid Al-Munawwaroh, Ciganjur berkata “Bukankah selama ini masjidselalu dicita-citakan sebagai salah satu simpul kohesivitassosial?”. Semoga saja bisa.
Wallahu Wallam
Penulis : Muh. Taufiq Al Hidayah (Magister Ekonomi Syariah, UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta)