OPINI – Sejak Covid 19 menyelimuti bentala, aktivitas manusia telah jauh dari kehidupan hingar-bingar. Seketika hiruk pikuk jalan raya tak lagi terdengar dari padatnya aktivitas lalu lintas. Tak ada lagi pemandangan ksatria kecil berjalan bergandengan sambil memikul sepucuk harapan orang terkasih menuju sekolahan. Ketika jam pulang telah tiba, riuh gembiranya pun tak lagi menggetarkan membran timpani. Begitu juga dengan keramaian aktivitas masyarakat kampus yang kini harus berganti jubah keheningan.
Efek domino yang timbul akibat pandemi ini telah membatasi ruang gerak manusia. Aktivitas kerja di luar rumah kini bertransformasi menjadi mekanisme work from home. Hal ini pun terjadi dalam dunia pendidikan yang mengharuskan mekanisme pembelajaran dan proses akademik beralih melalui sistem daring. Langkah ini tentu tidak terlepas dari upaya bersama untuk memutus rantai penyebaran covid 19.
Namun belakangan ini, guyonan mahasiswa yang menghiasa lini masa media sosial malah mengosek nalar berpikir. Keluhan fasilitas koneksi yang tidak mendukung menghambat proses transfer ilmu pengetahuan sehingga menjadi tidak efektif. Akibatnya, tugas demi tugas pun menjadi bentuk pelarian agar proses absensi tetap berjalan seperti biasanya. Belum lagi, kebijakan opsi pengalihan bentuk penelitian menghadirkan keambiguan mahasiswa semester akhir dalam menyelesaikan skripsi.
Tak ada yang patut disalahkan karena semua berjalan atas desakan situasi sosial. Mahasiswa meradang bukan karena keinginan tenaga pendidik, bukan pula kesalahan sistem pendidikan. Ini adalah alternatif paling ideal untuk mengakhiri penyebaran covid 19 melalui intraksi dalam lingkup pendidikan. Hanya saja yang menjadi tanda tanya besar bagi kita bersama adalah bagaimana kualitas yang dihasilkan dari dunia pendidikan di tengah pandemi covid 19 ini? Ok, cukup. Sampai disini kita hanya akan bisa meraba-raba kualitas yang dihasilkan dari mekanisme pembelajaran saat ini.
Ketika sistem mengukur kualitas pendidikan dari kemampuan untuk bersaing dalam dunia kompetitif, dengan kecerdasan yang mengantarkan individu meraih jabatan dan kerja yang layak, maka bagi masyarakat awam, kualitas itu akan ditentukan dari pribadi yang mencerminkan esensi kaum terdidik. Mereka tak akan pernah bertanya apa tanggung jawab pendidikan sesuai bidang masing-masing dan tidak akan pernah mengerti tentang proses yang dilalui selama mengenyam pendidikan. Akan tetapi, yang mereka tahu dunia pendidikan telah mengajarkan sesuatu yang baik, sehingga koridor keberhasilan bagi mereka adalah sejauh mana kaum terdidik bertanggung jawab tehadap perilaku dirinya.
Terlepas dari virus corona, ada satu virus yang justru mengancam eksistensi dan merecoki kualitas kaum terdidik di tengah masyarakat yaitu virus hati. Virus ini banyak menjangkiti manusia, sifatnya tidak nampak namun gejalanya dapat terdeteksi. Hanya saja, dampak sosial yang ditimbulkan justru lebih berbahaya dari covid 19. Virus hati itu tidak lain adalah kecongkakan intelektual, iri, dengki dan yang lainnya.
Musuh nyata bagi kualitas pendidikan individu adalah kecongkakan intelektual itu sendiri. Perasaan superioritas karena telah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi akhirnya memandang rendah orang-orang yang ada disekitarnya. Gejala virus ini menolak kebenaran pendapat karena mengklaim dirinya paling benar dan tahu segalanya yang akhirnya mengantarkan pada kemunafikan intelektual. Kian berisi kian merunduk, semakin tinggi ilmu semakin rendah hati, kata pepatah bukan kata mereka. Memang benar apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali, sangat sukar untuk tidak membanggakan diri dan merasa superior karena kepemilikan ilmu.
Belum lagi iri dan dengki yang akan menenggelamkan asas rasionalitas. Virus ini lebih kejam karena secara langsung akan menyerang dan meruntuhkan imunitas alam pikir manusia. Seperti yang dikatakan seorang pakar holistik bernama Dr. Shigeo Haruyama, bahwa seseorang yang memelihara sifat iri dan dengki, otaknya akan mengeluarkan hormon racun Nor-Adrenalin yang akan merusak berbagai jaringan dalam tubuh maupun otak manusia. Jadi jangan pernah menuntut logika pada seseorang yang terjangkit virus ini karena tindakan mereka cenderung hanya dipengaruhi suasana hati yang emosional. Situasi inilah yang kerap kita sebut emosi telah menidurkan akal acap kali melumpuhkan kecakapan berpikir.
Virus seperti ini jika dibiarkan terus bercokol dalam diri, maka hanya akan menimbukan sikap destruktif dan cenderung eksklusif terhadap lingkungan sekitar. Selain itu, seseorang akan merasa sulit untuk hidup dengan tenang, sulit mengendalikan emosi, mudah termakan hasutan, serta gelap mata untuk mencapai tujuan. Bukankah kisah pembunuhan pertama di bumi ini ditengarai oleh virus ini? Ya, kisah pembunuhan putra Nabi Adam A.S bernama Habil berawal dari virus dengki yang menjangkiti saudaranya Qabil. Sungguh mengerikan bukan?
Virus-virus tersebut adalah sifat manusiawi yang harus mendapatkan penanganan khusus. Gejala kronis virus ini akan menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat ketika langkah pengendalian tidak segera dilakukan. Namun, bagi sebagian orang yang terinfeksi, justru malah membiarkan virus tersebut berkembang biak dalam dirinya. Alhasil, semakin hari perilaku yang tak lagi mencerminkan kaum terdidik semakin tidak terkontrol. Inilah yang justru menciderai esensi kaum terdidik dan mencoreng citra dunia pendidikan di mata masyarakat awam.
Sadar atau tidak, masyarakat pada umumnya akan lebih respect pada seorang awam berperilaku layaknya kaum terdidik ketimbang seorang yang mengaku kaum terdidik namun perilakunya tidak sama sekali mengakui eksistensi terdidik. Mungkin ada, tapi yakin saja mereka tipikal masyarakat materialis yang punya kepentingan dibalik pangkat, jabatan, dan materi yang dimiliki. Jadi pilihannya hanya ada dua, dihargai karena perilaku terdidik atau dihargai hanya karena materi?
Bagi kaum terdidik, virus hati seperti halnya titik hitam yang melekat pada kemeja putih. Hanya akan mengganggu pemandangan bagi mata yang melihat. Lalu, sebilah pertanyaan yang harus terjawab dalam diri, apakah akan terus membiarkan titik hitam itu melekat sampai menodai kesucian kain kafan kelak? Berhentilah bentindak seperti katak dalam tempurung. Berkacalah pada Nabi Musa A.S yang mendapat teguran dari Allah SWT hanya karena mengatakan ‘’Ana a’la al-qaum” (akulah yang paling pandai di negeri ini). Atau pada Imam Syafi’i yang selalu meneteskan air mata tatkala beliau memperoleh ilmu baru karena sadar betapa banyak ilmu yang belum diketahuinya. Atau yang lebih filosofis dari Socrates yang mengatakan “Aku hanya tahu bahwa Aku tidak tahu”. Lantas apa yang bisa kita banggakan dibanding mereka?
Maka dari itu, manajemen emosional sangat penting bagi setiap individu sebagai langkah pencegahan paling efektif untuk menghindarkan diri dari virus hati yang sewaktu-waktu dapat menginfeksi. Sementara vaksin untuk menyembuhkan virus hati tidak lain adalah vaksin yang bersumber dari sifat Ilahiah itu sendiri.
Penulis : Kamaluddin (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)