Opini

Lagu Tak Seharusnya Beragama

×

Lagu Tak Seharusnya Beragama

Sebarkan artikel ini
                            Foto Penulis : Sultriana

OPINI – Suara speaker bersahut-sahutan di tiap-tiap menara mesjid, beduk di tabuh, shalawat Tharawih dimulai, sebentar lagi sahur tiba,Adzan shalat shubuh sebagai penenda waktu untuk menahan kesenangan telah tiba dan yang dinanti-nanti adalah adzan maghrib untuk melahap sajian yang telah disediakan dan itu adalah pernak-pernik Ramadhan, bulan Puasa.

Biasanya saat bulan Ramadhan telah tiba ialah segala hal yang berhubungan dengan religi Islam menjadi tren. Hal ini pun dimanfaatkan oleh musisi untuk merilis lagu-lagu religi yang menambah suasana Ramadhan semakin kental.

Click Here

Baru-baru ini warga +62 kembali heboh dan mengundang pro-kontra terhadap sebuah lagu yang berjudul “ya Tabtab” yang dipopulerkan oleh Sabyan. Warga +62 mencibir Sabyan karena lagu tersebut dianggap tidak pas.

Pertama, frame Sabyan adalah penyanyi yang bergenre Islami sudah terbangun sejak ia mempopulerkan Deen Assalam, kedua, lagu “ya Tabtab” belakangan diketahui sebagai lagu yang sering menjadi music latar Balley Dance atau senam perut ala padang pasir, ditambah lagu “ya Tabtab” pernah dipopulerkan oleh Nancy Ajram penyanyi asal Libanon Kristen Ortodoks.

Alasan-alasan itulah yang membuat +62 geger dan menganggap lagu “ya Tabtab” tidak pas dengan momentum Ramadhan. Namun jika dikaitkan dengan estetika, lagu tidaklah beragama sehingga bisa dilantunkan oleh siapa saja.

Kehebohan lagu “ya Tabtab” juga mengundang perhatian kalangan Akademisi terkhusus yang minatnya bidang keagamaan juga para voluntir perdamaian juga mulai bersuara bahkan opini-opini sudah mulai bergulir.

Betul ungkapan Rahmatullah Al-Barawi yang juga menulis terkait kasus yang dialami Sabyan bahwa setidaknya Kejadian yang menimpa Sabyan mengingatkan bahwa kondisi saat ini terkait fenomena keagamaan semakin Ambur-adul. Sebagian masyarakat khalayak sangat mendewakan bahasa arab, Arab dianggap sebagai patokan hal yang bertalian dengan Islam sementara yang lain diidentikkan dengan budaya kafir dan pelabelan lainnya.

Kondisi Indonesia dengan semangat keagamaannya menggiring frame bahwa Populisme Islam di Indonesia semakin menjamur. Hal tersebut belakangan semakin Nampak mulai dari kasus politik seperti kasus Ahok yang dianggap penista Agama yang melahirkan Gerakan keagamaan hingga berjilid-jilid dan contoh kasus lainnya.

Era 4.0 identik dengan jargon kemajuan Teknologi, perkembangan manusia bahkan diprediksikan generasi yang akan membentuk peradaban. Namun di lain sisi semakin menunjukkan sikap irasional apalagi jika dikaitkan dengan keagamaan, yang muncul adalah Truth Claim.

Mereka lupa akan sejarah yang membentuk peradaban Islam. Islam hadir setelah saudara-saudaranya yang lain. Singkatnya , Islam secara semitik religion lahir setelah peradaban-peradaban awal yakni Yunani, Latin dan peradaban yang ianggap non semitik lainnya yang turut serta mewarnai sehingga terciptalah peradaban yang besar.

Jika bahasa Arab memiliki tempat tersendiri di hati umat muslim adalah manusiawi, yang salah adalah jika Arab dijadikan cermin dalam mengukur segala hal yang disangkut-pautkan dengan Islam. Karena agama tidak hanya berbicara Syariat, ia dalam lingkup Kosmos ataupun anthropology sehingga sudah seharusnya agama ditilik dari budaya masing-masing Negara.

Agama tidaklah besar jika ia tidak kawin dengan yang lainnya, jika tidak kembali ke langit yang mengawan-awan (Qaim Mathar). Kalimat tersebut adalah ungkapan yang pas pada kondisi saat ini di tengah carut-marutnya paham keagamaan bahkan sebagian umat muslim di pusaran kata “mabuk agama”.

Penulis : Sultriana (Akademisi Studi Agama-agama)

Eksplorasi konten lain dari Sekilas Indonesia

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan Membaca

%d