JAKARTA-Kehadiran Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat di Kawasan Resort Peternakan Besipae, wilayah Besipa’e, Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Propinsi Nusa Tenggara Timur, Selasa (12/05/2020) siang diwarnai aksi protes sejumlah warga.
Bahkan, beberapa demonstran, terutama ibu-ibu, melakukan aksi setengah bugil (membuka baju dan dalamannya) sebagai ungkapan protes dan kekecewaan yang begitu dalam.
Aksi ini bukan tanpa alasan. Masyarakat kecewa karena Pemprov NTT mengklaim kebun dan tanah dimana rumah mereka dibangun adalah milik Pemprov.
Warga menuntut agar sertifikat hak pakai Pemprov dicabut dan barulah Pemprov dan warga Besipae mendiskusikan pemetaan ulang tanah Besipae agar kebun dan rumah warga tidak masuk dalam tanah hak pakai Pemprov NTT.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Flobamora Jabodetabek (FKM FLOBAMORA) Daniel Tagu Dedo mengungkapkan keprihatinannya.
Ia menyayangkan aksi yang menurutnya tidak sesuai dengan budaya luhur masyarakat NTT.
“Saya heran mengapa demo dengan cara seperti itu. Itu bukan budaya NTT,” ujarnya saat diwawancarai Rabu (13/5/2020).
Menurutnya, rencana Pemprov NTT mengembangkan peternakan dan perkebunan kelor di lokasi tersebut mesti didukung, mengingat lokasi tersebut memang milik pemerintah.
Ia berharap, kesepakatan antara masyarakat dan Pemprov segera terwujud agar proyek bisa berjalan dan berdampak positif bagi masyarakat.
“Semoga segera ditemukan titik temunya. Tentu saja masyarakat mesti dilibatkan dalam proses pembangunan agar sama-sama merasakan dampak bagi pertumbuhan ekonomi di NTT pada umumnya,” imbuhnya lagi.
Hal yang hampir senada juga dilontarkan oleh Martinus Laba Uung, SekJen FKM Flobamora. Ia sangat prihatin dan mengecam oknum-oknum tertentu yang memprovokasi terjadinya aksi bugil warga Besipae dalam menyampaikan aspirasi.
“Sangat prihatin karena Gubernur juga Warga NTT bahkan orang Timor sendiri. Namun diterima dengan aksi bugil yang sangat memprihatinkan dan tidak berbudaya,” ujar Martin Uung saat dihubungi.
Ia berharap, kesamaan pemahaman dan pola pendekatan sosial budaya yang digalakkan Pemprov dapat segera berujung pada titik temu, sehingga sama-sama tak ada yang merasa keberatan.
“Tentu saja seharusnya di era Demokrasi ini cara menyampaikan pendapat mesti berbudaya dan elegan agar tata norma budaya Flobamora juga turut dilestarikan,” tuturnya.
Di lain sisi, Daniel Tagudedo juga menyoroti pola komunikasi dan mengapa aksi tak pantas tersebut terjadi. Menurutnya, aksi ini telah ditunggangi oleh oknum provokator yang memancing keruhnya suasana agar lebih memanas.
“Walaupun Pemprov sangat komunikatif, kalau ada provokator yang memberikan penjelasan sebaliknya, maka apa yang benar bisa ditanggapi negatif oleh masyarakat,” tambah Daniel.
Ia juga menyamakan bagaimana cara protes/penyampaian pendapat yang teradi di level nasional dengan yang dilakukan oleh warga Besipae. Menurutnya, protes kurang pantas oleh kelompok-kelompok tertentu di level Nasional tersebut tidak boleh dijadikan sebagai contoh.
“Kita punya budaya komunikasi yang baik dan tinggi Ada kepala-kepala suku yang secara tradisional masih memiliki pengaruh paternalistik di daerah-daerah. Saya rasa semestinya itu tidak perlu terjadi,” pungkasnya.
Ia berharap, aksi buruk seperti ini tidak pernah terjadi lagi, masyarakat tidak mudah terprovokasi dan memakai alat komunikasi budaya yang telah tertanam bagi masyarakat Timor seutuhnya.
(Vinsent Mario Atawollo/Red)
Hari ini kita boleh menilai ini, itu salah tapi belum tentu bagi mereka itu salah krn ini semua mereka lakukan demi anak, cucu mereka. Mari kita memahami baik-baik