Foto : Kamaluddin (Penulis)
OPINI – Karl Marx seorang filsuf yang sampai hari ini eksis berkat pemikirannya yang revolusioner. Mungkin dialah salah satu diantara sekian banyak orang yang disebutkan Ibnu Khaldun dalam kitabnya “Muqaddimah” bahwa “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi produk kebiasaan-kebiasaan sosial”.
Tidak bisa dipungkuri, histori mencatat pemikiran-pemikiran Karl Marx telah banyak dipengaruhi oleh situasi sosial masyarakat kala itu.
Karl Marx adalah pelopor madzhab marxisme yang dikenal sebagai mazhab pejuang kaum proletar ditengah eksploitasi kaum borjuis.
Marx juga dikenal sebagai seorang atheisme berpaham materialisme. Celotehan dalam bukunya A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right yang mengatakan “Agama adalah Candu” telah banyak dikutip dan diperbincangkan dalam ruang-ruang diskusi kaum agamis.
Karl Marx menganggap agama sebagai tempat pelarian semata yang memberikan ketenangan sesaat bagi manusia. Kehadiran agama hanyalah mendatangkan kebahagiaan ilusif dengan harapan kehidupan hakiki setelah kematian.
Sajian hari akhir telah menawarkan dua sisi kehidupan yang mengerikan dan penuh kebahagiaan, mengarahkan perilaku manusia pada orientasi non-materi.
Agama telah menjauhkan manusia dari dimensi materi sehingga agama dianggap sebagai alat yang digunakan untuk mengasingkan manusia dari realita kehidupan. Kehadiran agama sebagai tempat berkeluh kesah kaum tertindas telah menjadikan manusia melupakan tekanan dan penindasan yang telah dialami.
Harapan-harapan yang bersifat ilusi telah menggiring manusia pada tindakan kontraproduktif terhadap tujuan-tujuan yang bersifat material.
Demikianlah Karl Marx memberikan perhatian terhadap persoalan kejatuhan agama dan korelasinya dengan fenomena sosial kemasyarakatan. Cara pandang Marx sebagai kaum materialis sekilas akan menjauhkan manusia pada perihal non-materi.
Namun jika ditelisik secara kronologis, pandangan Marx tidak terlepas dari perjuangan Marxisme melawan segala bentuk ketidakadilan.
Marxisme berusaha menciptakan transformasi kehidupan yang dianggap lebih layak ditengah kebuasan kapitalisme mengeksploitasi sumber-sumber produksi di muka bumi ini.
Pada dasarnya, pandangan-pandangan kaum materialis seperti Karl Marx akan membentuk sekularisasi kehidupan. Sekularisasi telah menjauhkan nilai-nilai spiritual dalam pelbagai aspek kehidupan.
Harvey Cox, Teolog dari Harvard University, menyatakan bahwa sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek sosial-politik, tapi juga merembesi aspek kultural.
Bahkan Islam sebagai agama dengan nilai generik perlahan teralienasi oleh sekularisme. Hal ini semakin menguatkan eksistensi keabadian ajaran islam dari sebuah hadits yang menyebutkan kehadiran islam dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula (HR. Muslim).
Pandangan Karl Marx tentu janganlah jadi anomali bagi kaum agamis. Sebagai makhluk berke-Tuhan-an haruslah menyikapi dengan bijak pandangan materialis dari sudut pandang non-materialis.
Kritik Marx tersebut hanyalah bagian dari provokai sosial yang secara tidak langsung memberikan tantangan kepada kaum agamis untuk membuktikan bahwa ajaran agama memiliki peran praksis strategis dalam misi penumpasan keterbelakangan.
Bagi kaum agamis khususnya kaum muslim, sudah seharusnya menyegarkan kembali pemikiran islami karena islam telah mengatur cara bertindak dan berpikir manusia yang harus sesuai dengan ajaran islam.
Dalam tulisan ini, Islam menjadi acuan untuk mencoba memberikan pelesetan makna atas celotehan karl marx dari sudut pandang manusia yang berke-Tuhan-an.
Jika Karl Marx mengatakan agama adalah candu maka dalam konsepsi pemikiran islami penyataan tersebut dapat ditafsirkan dalam bentuk pandangan positif. Tujuannya semata-mata sebagai bentuk provokasi untuk membangkitkan kembali semangat kemestian indentitas beragama dalam pelbagai aspek kehidupan.
Jika Agama adalah candu maka tidak ada salahnya ketika seorang muslim membiarkan dirinya terus mengonsumsi nilai-nilai yang telah diajarkan islam agar termabuk dan terjerumus dalam jurang kebajikan.
Ajaran islam sudah seharusnya ditelaah secara holistik, artinya bukan hanya perihal ritual peribadatan saja, tetapi juga mecakup seluruh aspek kehidupan.
Jika seorang muslim menjadikan islam sebagai candu peribadatan semata, maka sudah bisa dipastikan nilai-nilai keislaman dalam dirinya hanya sampai pada tataran ritual keagamaan saja.
Islam mengharuskan manusia menciptakan keseimbangan aktivitas namun tetap menjadikan akhirat sebagai pusat aktivitas itu sendiri (Q.S.Al-Qashash: 77).
Seruannya tidak hanya berbicara tentang visi ke-Tuhan-an, tapi juga visi kemanusiaan dalam menghadapi realita kehidupan. Islam mendekonsekrasi nilai yang bertentangan namun tetap menerima tradisi-tradisi yang dianggap baik.
Inilah yang dimaksudkan Cak Nur dan sejumlah pemikir lainnya bahwa islam adalah nilai generik yang bisa ada di agama lain dan kebenarannya bisa ada dalam berbagai pandangan termasuk pandangan Karl Marx itu sendiri.
Buktinya, ketidakadilan dan penindasan yang telah digaungkan kaum materialis adalah musuh bagi semua agama termasuk islam itu sendiri (Q.S An-Nahl: 90).
Hal inilah yang dilupakan oleh Karl Marx beserta antek-antek materialis lainnya tentang ajaran agama yang membebaskan dan memberdayakan umat.
Padahal sejarah telah mencatat bagaimana peran agama dalam menuntaskan misi keterbelakangan hingga abad pertengahan diabadikan sebagai “Islamic Golden Age” dalam sejarah peradaban manusia.
Bahkan Phillip K. Hitti tidak segan menyebutkan dalam karya fenomenalnya “History of Arab” bahwa “Tidak ada satu pun bangsa pada abad pertengahan yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan oleh orang Arab dan orang Arab yang berbahasa arab (dunia islam)”. Hal ini membuktikan bahwa agama (islam) memegang peran strategis dalam menciptakan peradaban manusia di muka bumi ini.
Karl Marx juga mengatakan agama hanyalah tempat berkeluh kesah yang dapat menggiring perilaku kontraproduktif manusia terhadap tujuan-tujuan yang bersifat material. Jika pernyataan ini kita bawa dalam konteks manusia beragama yang kesehariannya dibayang-bayangi kemalasan dan keputusasaan dalam bekerja, maka pernyataan Marx tidak dapat disalahkan.
Agama (Islam) mengajarkan bahwa tempat berkeluh kesah terbaik adalah Allah SWT. dialah tempat terbaik mengadu atas problem-promblem yang terjadi.
Bukan berarti berkeluh kesah justru menjauhkan seseorang pada realita kehidupan materil. Islam menolak perilaku-perilaku yang kontraproduktif dalam urusan duniawi.
Justru Islam menyeru kepada umat untuk senantiasa berusaha terlebih dahulu sebelum berikhtiar. Meskipun rezeki seluruh makhluk bernyawa telah dijamin di muka bumi ini (Q.S Hud: 6).
Namun Allah SWT tetap memperjelas bahwa manusia hanya akan memperoleh apa yang telah diupayakan (Q.S An-Najm: 53). Bahkan lebih tegas disebutkan bahwa Allah SWT tidak mengubah keadaan (nasib) suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri (Q.S Raad: 11).
Hal ini mengindikasikan bahwa perilaku produktif adalah bagian dari seruan islam untuk mendatangkan kebahagiaan di dunia. Apa yang dikatakan Marx terkait agama hanyalah tempat berkeluh kesah sudah seharusnya dapat dibantah orang-orang muslim dengan mengamalkan seruan-seruan tersebut.
Namun arus globalisasi yang begitu cepat telah banyak mempengaruhi perilaku dan cara berpikir seorang muslim melalui proses westernisasi. Proses ini perlahan akan mengantarkan praktek-praktek sekularisasi memegang kendali kehidupan dan menjadikan islam teralienasi sehingga ruh nilai tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Praktek-praktek yang tidak didasarkan pada nilai-nilai ke-Tuhan-an justru akan memunculkan beragam masalah dalam dimensi kehidupan. Perilaku koruptif, kolutif, ketidakadilan dan penindasan tidak dapat terbendung karena lemahnya iman.
Proses alienasi ini harusnya menyadarkan kita untuk kembali menjadikan islam sebagai arus utama dalam kehidupan. Menginternalisasi nilai-nilai islam dalam pelbagai dimensi adalah upaya sistematis dan bertahap yang diperlukan untuk membendung gelombang sekularisme.
Dengan begitu, perlahan apa yang dikatakan Karl Marx terhadap agama sebagai pemicu keterasingan manusia dari realita kehidupan dapat ditepis oleh kaum agamis.
Penulis : Kamaluddin (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)