GOWA, SEKILASINDO.COM – Para Pelaku Usaha Rumah Makan yang ada di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, keberatan dan keluhkan pajak 10% yang dibebankan kepada mereka, pasalnya pajak 10% itu dinilai terlalu tinggi dan menolak juga alat Mesin Pembayaran Secara Online (MPOS) sebagaimana yang diperintahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.
Apalagi aturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, apabila menolak Pemasangan Alat MPOS, maka surat peringatan ke 2 itu, akan berlanjut penutupan usaha tersebut.
Seharusnya Pemerintah Kabupaten Gowa itu membela hak-hak rakyat kecil, di mana letak kesejahtraan rakyat kecil disini, apabila pajak terlalu tinggi. Apalagi harus dibebankan pajak 10% oleh konsumen yang makan di Rumah Makan.
Dan terkait dengan alat MPOS pada Bapenda Kabupaten Gowa dinilai terlalu memaksakan para pelaku usaha.Karena mereka semua dibuatkan surat pernyataan dari Bapenda, yang isinya menyatakan kesiapan untuk membayar pajak online dan kesiapan dipasangkan alat perekaman pembayaran pajak dan apabila rusak harus bertanggung jawab.
“Seharusnya Pemerintah itu bisa membela kami semua, rakyat kecil, justru kalau diberlakukan pajak 10% itu, rakyat tambah menderita. Karena pikir saja, perkepala dibebankan kepada pembeli, 10%, jadi bagaimana kalau profesinya seperti tukang becak, atau yang penghasilannya menengah kebawah, pasti mereka tidak bisa makan yang enak- enak, karena harus dibebankan kepada pembeli 10%, baginya tak akan sanggup membayar makanan yang tidak sesuai dengan penghasilannya, kalau dibebankan kepada pembeli 10%,” ungkap salah satu pemilik rumah makan, Mba Ani, yang sudah menjual 20 tahun ini, kepada SekilasIndo.com Jumat (27/9/2019)
Dan seharusnya Pemerintah itu tidak samakan semua pembayarannya pajak 10%, Pemerintah harus bisa bedakan mana restoran, rumah makan,warung nasi, warung kopi, kafe, kios/kantin, dan minuman dingin,catering,coto itu semua yang mencakup spesifikasi objek pajak yang masuk dalam daftar Bapenda yang harus bayar pajak 10% semua diratakan.
“Seharusnya pajak restoran dibedakan dengan rumah makan atau warung nasi, jangan disama ratakan semua 10%,” keluhnya.
Padahal pembeli itu tidak sama semua, di restoran dan rumah makan,”apalagi pembeli di rumah makan kami sepi, ditambah pula dengan pajak 10% yang dibebankan kepada konsumen, bisa- bisa pembeli kami disini kabur, tidak ada yang makan disini. Bedalah dengan pembeli di Kota Makassar dengan Kabupaten Gowa, disini mata pencahariannya, rata- rata menengah kebawah, kalau Kota Makassar, kebanyakan menengah ke atas, pasti mereka konsumen sanggup bayar makanan yang dikenakan pajak 10%,” paparnya.
Dan soal surat pernyataan yang dibuatkan oleh Bapenda, kita disini merasa diintervensi, padahal kita punya usaha sendiri. Ini murni bukan modal dari Pemerintah, ini modal dan usaha pribadi, bukan milik badan usaha Pemerintah atau Negara.
Tetapi kita dituntut untuk transparansi, melalui alat MPOS, seharusnya Pemerintah itu bisa bedakan, ini milik usaha pribadi, bukan modal dari pemerintah yang dikelola, jadi kenapa harus transparansi menggunakan alat MPOS, “Dimana letak logikanya, tolong Pemerintah tela’ah itu,” pintanya yang bingung dan heran diharuskan pemasangan alat MPOS.
Semua Pelaku Usaha tidak tahu, harus mengadu kemana lagi, karena tidak ada Ketua Asosiasi Pedagang, yang bisa menjembatani aspirasi kami, tolong Pemerintah itu seharusnya membela hak- hak kami rakyat kecil, dimana letak kesejahteraan rakyat kalau seperti ini.
“Pemerintah tidak tahu, kami disini kontrak 1 tahun itu, Rp.50 juta dan karyawan ada 4 orang, kalau pajak 10%, pembeli pada kabur dan semakin banyak juga pelaku usaha yang akan tutup kalau diberlakukan pajak terlalu tinggi dan semakin banyak yang kehilangan pekerjaanya.Justru kami disini membantu Pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan,” jelasnya.
Sementara dari sumber yang dikutip BERITAINDEPENDEN.COM. Warung Tegal (Warteg) Selera, milik Agus Casmito, di Jalan Mangka, Daeng Bongbong, juga sudah ditutup karena tidak mau dipasangkan Alat Mesin Pembayaran Secara Online (MPOS).
Agus Casmito disini juga keluhkan karena setiap konsumen yang makan dikenakan pajak 10% dari harga yang di tentukan pemilik warung. Jelas itu membuat masalah karena tidak mungkin menaikkan harga dari harga sebelumnya, semua konsumen akan lari.
Ia juga meminta kepada Pemerintah seharusnya membuka ruang untuk berkembang dan majunya perekonomian tidak harus memutuskan untuk menutup paksa warung kecil hanya karena mengenai hal sepeleh di berlakukannya pajak lewat online.
“Sungguh didalam hal ini, Pemerintah tidak berpihak pada usaha kecil milik rakyat, suatu perkembangan dalam suatu kemajuan ekonomi di lihat dari usaha- usaha kecil,” kesahnya.
Agus Casminto juga berharap, semoga Pemkab Gowa membuka kembali warung sebagai tempat mengadu nasib kami, mohon kebijaksanaan dari Pemkab Gowa, untuk tidak memberlakukan sistem online namun cukup manual saja.
(Shanty)