OPINI, SEKILASINDO.COM – Halal bihalal sebuah istilah yang sering kita dengar bahkan mungkin hampir setiap tahun pasca bulan Ramadhan selalu dilaksanakan.
Halal bihalal sendiri biasanya dilaksanakan dalam masa bulan syawal baik oleh pribadi maupun lembaga pemerintah ataupun lembaga non pemerintah.
Halal bihalal sejatinya adalah media untuk saling maaf memaafkan dan bersilaturahmi menghilangkan berbagai sekat emosional yang ada pada masing masing pribadi setelah merayakan kemenangan di hari yang fitri.
Halal bihalal sendiri secara terminologi berartu maaf memaafkan setelah puasa ramadan (KBBI), ungkapan halal bihalal menurut berbagai literatur mulai didengar dalam kurun waktu 1935-1936.
Ketika itu di Taman Sriwedari Solo selalu diselenggarakan pasar malam khususnya di bulan ramadan. Dan terdapat seorang pedagang India yang selalu menjajakan martabak malabar.
Sang pedagang ini menjual martabaknya senilai 7 sen dan kadang kala dinaikan harganya menjai 9 atau 10 sen jika dimalam dua hari sebelum lembaran. Sang pedagang ketika menjajakan martabaknya selalu berteriak “Martabak Malabar” halal bin halal secara terus menerus.
Karena teriakan Martabak Malabar Halal bin halal tersebut sering diperdengarkan maka setiap anak baik muda maupun dewasa ikut berteriak martabak halal bib halal.
Sejak itu setiap masyarakat yang akan ke Pasar Sriwedari Solo apalagi dimomen lebaran selalu mengatakan akan berhalalbalal atau berhalal bin halal. Semula acara halal bihalal hanya diisi dengan ucapan selamat datang dan makan bersama, namun dalam perkembangannya momen halal bihalal selalu dirangkaiankan dengan pembacaan ayat ayat suci alqur’an, ceramah agama dan pembacaan doa serta ditutup dengan santap bersama.
Dalam perkembangannya pasca kemerdekaan Indonesia trend halal bihalal terus berlanjut dan diinisiasi oleh KH. Wahab Chasbullah pendiri Nahdatul Ulama, kegiatan halal bihalal sejak tahun 1948 selalu menjadi agenda rutin Pemerintah Indonesia bahkan beliau saat itu mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk selalu menyelenggarakan halal bihalal ini untuk menyatukan perbedaan para elite politik Indonesia yang kadang kala sangat tajam akibat perbedaan cara pandang dalam menyikapi Indonesia diawal kemerdekaan.
Momen halal bihalal akan mencairkan perbedaan dan mempertemukan antar faksi/kelompok yang berbeda, sehingga agenda halal bihalal selalu menjadi agenda rutin pemerintah sampai saat ini.
Hari ini momen halal bihalal seiring perkembangan zaman dapat bertransformasi dalam berbagai momen sesuai dengan sudut pandang kita masing masing.
Dalam sudut pandang yang paling sederhana bagi rakyat adalah bagaimana melalui momen halal bihalal dapat menyatukan energi kita semua dalam upaya membantu percepatan pembangunan daerah, meminimalisir perbedaan guna percepatan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Oleh karenanya momen halal bihalal haruslah senantiasa dimaknai secara positif guna memaksimalkan upaya penyelenggara negara dalam menghadirkan pelayanan pemerintahan yang berkualitas, transparan dan akuntabel.
Kita tidak boleh lagi “alergi” dengan semangat halal bihalal (HBH) dan berpikiran negatif terhadap kegiatan tersebut apalagi misalnya mengaitngaitkan dengan upaya politik dalam mempengaruhi masyarakat.
Halal bihalal haruslah dimaknai sebagai wadah yang tepat untuk menyatukan kekuatan, berbagai potensi dan keunggulan komparatif masing masing dalam membangun daerah.
Jika momen HBH ini saja menjadikan kita semakin bercerai berai maka momen apalagi yang akan menyatukan kita dalam konteks Pembangunan Daerah.
Bung Karno mengatakan bahwa untuk membangun suatu bangsa yang dibutuhkan adalah 3 hal yaitu investasi sumber daya manusia, investasi material dan investasi mental.
Oleh karena itu Halal bihalal juga merupakan salah satu media untuk tetap menjaga nasion and character building agar masyarkat Indonesia Kuat Badannya dan Sehat Jiwanya. #Mari berhalal bihalal.
Penulis: Surachman (Ketua Media Center P)