OPINI, SEKILASINDO.COM- Pada tanggal 8 Maret 1909 di disepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai hari Perempuan Internasional, ini menjadi buah penghormatan gerakan perempuan yang terjadi setahun sebelumnya yaitu 8 Maret 1908 yang terjadi di New York,Amerika Serikat.
Pada saat itu sekitar 15.000 buruh perempuan turun ke jalan untuk menuntut kenaikan upah, menuntut jam kerja yang dianggap tidak sebanding dengan upah yang diterima. Ini menjadi salah satu bentuk gerakan yang dipelopori oleh perempuan untuk menuntut haknya sebagai manusia.
Selain itu ini juga menjadi bukti bahwa perempuan mempunyai kekuatan besar dalam menulis sejarah. Tak banyak yang menuliskan gerakan perempuan atau bentuk perlawanan perempuan pada saat ini, seakan-akan perempuan tak banyak memberikan kontribusi dalam setiap hal-hal besar yang ada di Dunia maupun Indonesia itu sendiri.
Padahal dalam beberapa rentetan sejarah perempuan menjadi pelopor sebuah gerakan yang menjadi pusat perhatian, di Indonesia misalkan ada Marsinah seorang aktivis perempuan dan buruh pabrik yang terlibat dalam gerakan perempuan pada masa orde baru tahun 1993 untuk memperjuangkan upah buruh pada saat itu, ikut turun aksi sebanyak 2 kali tetapi pada aksi yang ketiga, 3 Mei 1993 Marsinah sudah tak terlihat lagi, karena perjuangannya ini kelompok yang melegalkan patriarki merasa terancam maka perjuangannya itu harus dibayar oleh nyawa, Marsinah ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 disebuah gubuk dengan luka penganiayaan ditubuhnya, yang sampai saat ini kematiannya masih menjadi misteri.
Gerakan perempuan ini menjadi bukti bahwa ketika perempuan bersatu untuk melawan ketidakadilan, aktor dari penyebab ketidakadilan itu tidak akan merasa terancam.
Mulai dari upah, jam kerja, seksualitas dan beberapa kebijakan yang dianggap merugikan kaum perempuan menjadi alasan utama gerakan perempuan dan sampai saat ini masalah seksualitas, jam kerja, maupun upah masih sulit untuk di atasi.
Dibantu dengan Konstruksi yang dibangun masyarakat yang kemudian dimanfaatkan kelompok patriarki ini merugikan perempuan.
Perempuan di anggap Reproduktif, pekerjaannya di rumah (domestik) dianggap tidak menghasilkan apa-apa, nah jika kita melihat jam kerja perempuan, maka akumulasinya jam kerja perempuan lebih banyak tanpa ada upah.
Tetapi anggapan masyarakat bahwa produktif adalah upah bukan nilai. Seperti di Film Pendek “The Impossible Dream ” menggambarkan bagaimana perempuan bekerja dalam dua wilayah, yaitu wilayah domestik dan publik.
Pada film itu digambarkan bagaimana perempuan yang berperan sebagai istri beraktivitas di pagi hari kemudian harus bekerja di luar dan di sela-sela iya bekerja di wilayah publik ia harus menerima serangan psikis.
Ia di caci oleh pimpinannya kemudian dibayar dengan upah yang tidak sebanding. Beda dengan laki laki atau suami dalam film itu, ia bekerja di wilayah publik dan dengan sadar melakukan pelecehan seksual dengan perempuan kemudian ia dibayar dengan upah yang tinggi.
Kasus ini kemudian menimbulkan, kerugian terhadap perempuan, otomatis komunikasi dalam keluarga akan berkurang, kedekatan emosional juga berkurang dan akan berdampak ke anak.
Diskusi-diskusi kecil itu penting dalam keluarga, anak penting untuk bercerita dengan orang tuanya, dengan kurangnya komunikasi tak jarang menimbulkan tindakan yang tidak sepantasnya, misalkan kekerasan seksual.
Kontruksi yang dibangun oleh masyarakat bahwa perempuan tugasnya hanya di sumur, dapur, dan kasur yang kemudian kembali dimanfaatkan oleh kaum pemeluk patriarki ini menjadikan perempuan secara otomatis mengalami akses pengetahuan atau informasi yang minim, karena beban ataupun tanggung jawab domestik yang hampir seluruhnya menjadi tugasnya.
Meskipun akses media sosial bisa menjadi sumber informasi tapi bagaimanapun diskusi menjadi hal yang paling urgent.
Selain itu kesadaran perempuan bahwa beberapa kebijakan ataupun konstruk masyarakat itu sebenarnya menghambat bagaimana iya berkembang.
Lahirnya gerakan ataupun organisasi yang fokus pada analisis kerugian perempuan bisa menjadi pengumpulan aspirasi bagi perempuan dengan jalan melakukan sekolah keperempuanan dengan memberikan pemahaman bahwa perempuan memiliki kapasitas yang bisa dimanfaatkan dalam wilayah apapun.
Bisa juga negara mengeluarkan kebijakan memberikan beasiswa bagi kaum perempuan agar menyadarkan kaum perempuan bahwa pendidikan itu penting, tak terlepas dari peran keluarga dalam menyemangati setiap apa yang menjadi ide dari kaum perempuan .
Semoga peringatan Hari Perempuan Internasional selalu menjadi motivasi untuk semua perempuan bahwa iya begitu berharga, memiliki kesempatan kerja, mendapatkan upah yang sewajarnya, melawan kontruksi yang dianggap merugikan, sadar akan kekuatan saling bersinergi itu luar biasa, sadar akan keistimewaan yang dimiliki, sadar akan ketidakadilan yang dialami kemudian dengan berani melawan itu, baik melalui aksi ataupun melalui tulisan.
Saya perempuan!!!
Saya bisa!!!
Penulis : Andi Eka Saputri (Mahasiswi Ilmu Politik, UINAM)