
Beberapa hari lalu di jagat medsos tagar uninstalBukalapak”menjadi top trending, sebab CEO Bukalapak Achmad Zaky mentwit tentang dana riset Indonesia. Cuitan yang makin membuat netizen berang, khususnya pendukung Capres Jokowi adalah mudah-mudahan presiden baru naikin (anggaran riset dan pengembangan).
Frasa ini dianggap oleh sebagian netizen menyerangpemerintahan Jokowi dan diartikan sebagai dukungan terhadap lawan Jokowi di Pilres 2019 Prabowo Subinato meskipun sana sini telah diklarifikasi, namun apa hendak dikata gerakan pemboikotan di medsos makin beringas.
Dua bulan ke depan hal-hal seperti ini akan sangat mudah kitajumpai, perbedaan dalam pilihan capres ataupun Pilkada, nyatanya banyak melahirkan sekat-sekat antar masyarakat, terpolarisasi, mudah terprovokasi, dan tak sedikit yang memutuskan tali silaturahmi. Padahal apa yang akan kita laksanakan ini adalah pesta,bukan perang, sehingga harus dinikmati, bukan malah melahirkan caci maki, apalagi perselisihan.
Mengenai kasus perselisihan akibat pilkada, saya jadi teringat di Kampung, Jeneponto. Banyak keluarga-keluarga saya yang berbeda akan pilihan kepala daerah, dengan entengnya memutuskan tali silaturahmi dan tak lagi bertegur sapa. Padahal keuntungannya dari Pilkada tersebut tidaklah banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka. Sungguh ironi.
Belajar “Lagi” Arti Perbedaan
Perbedaan sesungguhnya adalah fitrah, Allah Ta’ala tidak pernah menciptakan segala sesuatu dalam kehidupan ini serupa. Olehnya itu, menghendaki persamaan dalam setiap persoalan adalah hal yang sia-sia belaka. Dalam islam, tentu kita tak kering denganteladan khususnya menyikapi perbedaan, Rasulullah ada rule model terbaik untuk kita.
Dalam berbagai riwayat, Rasulullah senang dengan musyawarah. Misalnya dalam Perang Uhud. Beliau bermusyawarah,apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Mayoritas sahabat mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi musuh, Rasulullah lalu memutuskan untuk berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh berada.
Begitu pula pada Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah. Usul tersebut ditolak oleh dua orang, yaitu Sa’d ibnu Mu’az dan Sa’d ibnu Ubadah. Akhirnya Rasulullahmenuruti pendapat keduanya.
Terakhir, Rasulullah mengajak mereka bermusyawarah dalam peristiwa Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Abu Bakar Al-Siddiq berkata, “Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah.” Kemudian Rasulullah SAW menyetujui pendapat Abu Bakar.
Apa yang bisa dipetik? Rasulullah sangat open minded dengan berbagai pandangan yang berbeda. Beliau tidak sewenang-wenang dan mentang-mentang sebagai Nabi dan rasul lalu bersikap otoriter, keras dan tidak mau mendengar saran orang lain. Sebaliknya juga para sahabat Rasulullah bersikap santun saat mengajukan pendapat. Mereka bertanya dahulu, apakah sikap dan pandangan Rasul itu, berasal dari wahyu yang tidak bisa diganggu-gugat atau hanyalah pendapat pribadi beliau. Betapa mulianya Rasulullah SAW.
Belum lagi teladan dari para imam mazhab, semisal ImamMaliki, “Apabila para sahabat menghadapi masalah yang berat, maka mereka tidak akan memberikan jawaban sebelum mereka mengambil jawaban sahabatnya yang lain”. Para sahabat, imam, ataupun ulama terdahulu dengan keilmuannya tidak berat hati bila ada yang menyelisihnya pendapat mereka, namun merekamengapresiasi adanya perbedaan diantara mereka.
Jangan Mencaci
Perbedaan seharusnya mengajarkan kita untuk saling berbagi dan belajar. Yang kurang dilengkapi dan yang buruk diperbaiki. Dalam QS Al-Maidah: 48 menyatakan bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya kita dijadikan satu umat saja, tetapi tidak demikian, Allah hendak menguji dan melihat siapa diantara kita yang paling bagus perbuatannya.
Usaha untuk menghargai perbedaan dan menghindari perselisihan terasa makin urgen disampaikan, apalagi di era medsos. Banyak dari kita yang alpa menyikapi perbedaan dan kadang nilai-nilai akhlak dikesampingkan. Makin ke sini, perbedaan pandangan kerap kali mendorong kita untuk saling menyerang, ruang-ruang diskusi berubah menjadi ajang caci maki.
Dalam islam, setan yang jelas-jelas menjadi musuh kita, banyak menjerumuskan dan mengajak kita ke arah yang tidak benar dilarang untuk dicaci maki. Malah kita diperintahkan hanya berlindung kepadanya. Bahkan dalam sabda Rasulullah jangan kamu katakan “celaka setan”, sebab jika kamu katakan itu badan syetan akan membesar sehingga sebesar rumah, sebaliknya berkatalah “Dengan menyebut nama Allah”, sehingga badan setan jadi mengecil sekecil lalat (HR. Ahmad, Abu Dawud, AnNasai).Begitu mulianya kita diajarkan.
Fenomena seperti ini tidak boleh terus dibiarkan. Manusiatelah dianugerahi oleh Allah pikiran, kecenderungan, bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka perbedaan dan pertentangan. Jika tak dikelolah dengan baik, akan mengakibatkan bencana. Manusia akan terus berbeda dan berselisih kecuali yang dirahmati Allah, yakni yang mampu mengelolah perbedaan itu, antara lain dengan bersikap toleran terhadap padangan dan sikap orang lain, baik dalam keberagaman maupun sebaliknya.
Perbedaan itu adalah keniscayaan. Mengapa pelangi begitu indah dipandang, sebab meskipun mereka berbeda-beda warna, namun tetap menyatu dan memancarkan sesuatu yang sedap dipandang. Begitulah juga seharusnya kita, berbeda tapi tak harus berselisih apalagi mencaci maki. Kita adalah pelangi, pelangibernama Indonesia. Sekali lagi berbeda boleh, mencaci jangan. Wallahu alam bissawab.