Penulis : Firman (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)
OPINI,SEKILASINDO.COM- Semua orang mungkin sepakat bahwa dalam era globalisasi keutuhan manusia ingin tetap terpelihara dengan baik dan ilmu pengetahuan sosial akan diharapakan dapat menjadi salah satu jalan alternatif yang strategis bagi pengembangan manusia .
Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan positifnya. Dan di antara dampak negatif tersebut misalkan terjadi dislokasi, dehumanisasi dan sekularisasi.
Sedangkan dampak positif itu diantara lain akan terbentuknya berbagai kemudahan dan kenyamanan,baik dalam lingkungan ekonomi, informasi, teknologi, maupun psikologi.
Ilmu pengetahuan sosial yang ada sekarang ini dinilai suda mulai kewalahan bahkan hampir gagal dalam ikut serta memberikan kerangka pemecahan masalah sosial yang timbul dalam era globalisasi tersebut.
Hal demikian antara lain disebabkan karena dasar-dasar dan prinsip yang dijadikan dasar dalam ilmu pengetahuan sosial berasal dari filafat barat yang bertumpu pada logika rasional dan cara berfikir empirik.
Sehingga dari dasar pemahaman bahwa sebagian manusia menganggap filsafat merupakan ilmu penggugat keraguan yang pada dasarnya dapat mengubah keyakinan terhadap kaum agamawan hingga lepas dari keyakinan sebab filsafat mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Namun sering perkembangan ilmu pengetahuan pahaman tersebut suda dianggap biasa-biasa saja. Hal terebut yang menjadi penentu adalah diri sendiri bukan untuk orang lain dan bukan pula karena dokntrin semata yang memasuki diri apa yang menjadi keyakinan kita sehingga terasa mengalami kebuntuan.
Salah satu cara untuk menghadapi kebuntuan dari ilmu pengetahuan sosial yakni, agama diharapkan dapat memberikan arahan dan persfektif baru, sehingga kehadiran agama dapat terasa bermanfaat bagi menganut agama.
Agama dapat mengubah pola fikir manusia dari hal-hal yang buruk akan ter arah pada hal yang baik, didikan agama sangatlah manusiawih hingga pola fikir manusia akan terbentuk secara sehat dan alami.
Secara sederhana bahwa Agama dapat dilihat sudut kebahasaan dari etimologi dan sudut istilah terminologi. Mengartikan agama dari sudut etimologi itu merupakan kandungan secara subjektifitas dari orang yang mengartikannya.
James H.Leuba, misalnya ia berusaha mengumpulkan defenisi mengenai agama tak kurang dari 48 teori dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha membuat defenisi amatlah susah sebab agama itu tak ada gunanya karena ia hanya berkepandaian bersilat lidah.
Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan bahwa barang kali tidak ada kata yang menyulitkan oleh manusia hanya saja itu hanyalah bentuk kekecewaan oleh orang yang beragama.
Dari konsep tersebut ada tiga alasan yang ditekankan oleh Mukti Ali; pertama, pengalaman agama adalah soal batin dan subjektif. Kedua, setiap pemahaman tentang agama selalu emosi yang melekat sehingga agama terasa susah untuk didefenisikan. dan ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan defenisi tersebut.
Agama dalam konsep Ilmu sosial akan terbentuk secara alami pula akan tetapi tak memeiliki batasan tertentu hingga kapan digunakan.
Sehingga Kita butuh ilmu sosial yang tidak hanya berhenti pada fenomena sosial akan tetapi dapat memecahkan secara memuaskan. Menurut Kuntowijoyo, sebagai mahluk sosial tentu kita butuh yang namanya ilmu sosial profetik yakni ilmu sosial yang hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana tranformasi itu dilakukan.
Untuk apa dan oleh siapa.yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan pada cita-cita etik dan profetik tertentu.
Ilmu sosial dapat mempersatukan manusia menjadi damai dengan menggunakan pendekatan agama, sebab agama menjadi pusat kepercayaan oleh manusia secara umumnya untuk dapat diyakini dan bisa dipercaya. (AR)
Penulis : Firman (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)