OPINI, SEKILAS INDONESIA- “Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya dan memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira telah menyayanginya padahal dia telah mendzaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah” (Ibnu Qoyyim).
Selama ini pemahaman dan kebiasaan di tengah masyarakat kita, mendidik dan mengasuh anak adalah tugas seorang ibu. Ayah hanya membantu saja, namun ibulah yang harus mendidik anak sepenuhnya. Padahal kedua belah pihak memiliki beban tanggung jawab yang seimbang dalam mendidik dan mengasuh anak, karena pada dasarnya anak memerlukan sentuhan pendidikan, pembinaan, pengasuhan dari kedua orang tua.
Ketimpangan ini berdampak pada banyak hal, utamanya kenakalan remaja. Masih terlalu cepat dilupakan, tempo hari empat anak kelas IV SD di Lamongan, Jawa Timur. Nekat membakar seluruh rapor siswa kelasnya yang belum dibagikan gurunya. Mereka membakarnya di ruang kelas dengan berdalih kesal atas nilai rapornya jelek. Di Kabupaten Gowa, ada tiga pelajar SMP yang membakar sekolahnya, sebab kesal dihukum gurunya. Ketiganya kedapatan merokok dan sang guru menghukum dengan tidak memperbolehkan mereka mengikuti pelajaran di kelas. Alhasil, mereka melampiaskan kekesalannya, sekitar pukul 3 dini hari tiga siswa kelas IX itu membakar ruang gurunya.
Realitas di atas kiranya menggambarkan kealpaan ayah dalam mendidik anak-anaknya. kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah. Harus diakui pula banyak orang tua yang tidak tahu bagaimana cara mendidik anak-anaknya (Rhenald Kasali). Hasilnya pendidikan anak “hampir” sepenuhnya terabaikan.
Rumah tangga adalah sekolah. Ayah sebagai kepala sekolah, artinya segala bentuk kebijakan, penentuan visi dan evaluasi pengasuhan anak dipegang sang ayah. Jika ayah hanya tahu memperbaiki genteng bocor, memperbaiki TV rusak, atau keran rusak, maka ia tak ubahnya penjaga sekolah. Sedang ibu adalah madrasah atau guru pertama anak-anaknya, ia mengajarkan kelembutan dan budi pekerti. Tentu kerjasama keduanya akan membuat pendidikan anaknya jadi komplit.
Kini istilah yatim sebelum waktunya kian mencuat. Anak-anak seolah kehilangan sosok kunci dalam keluarganya lebih cepat. Tidak banyak ayah yang mau menyiapkan banyak waktunya untuk sekedar bercekrama, menanyakan kabar atau sekedar melempar canda nan tawa. Yang ada dibenak ayah-ayah kita adalah bagaimana agar dapur terus mengepul, padahal bukan hanya itu, pendidikan anak juga sama pentingnya.
Tidak sedikit juga ayah-ayah kita mirip dengan peran ATM, anak hanya datang ketika mereka membutuhkan uang. Hanya sedikit dari ayah-ayah kita yang jadi cinta pertama anak-anaknya. Hanya ayah yang mau meluangkan banyak waktu yang mampu membuat anaknya jatuh cinta kepadanya.
Khotbah Parenting
Cahyadi Takariawan (2016) mengutip Sarah binti Halil bin Dakhilallah Al-Muthiri dalam tesisnya “Hiwar Al- Aba’ Ma’a Al-Abna Fil Qur’anil Karim wa Tathbiqatuhu At-Tarbawiyah”, atau Dialog Orang Tua dengan Anak dalam Al-Quran Karim dan Aplikasinya dalam Pendidikan, menjelaskan Al-Qur’an memuat dialog orang tua dengan anak dalam 17 tempat yang tersebar di 9 surat.
Perinciannya, dialog ayah dengan anak sebanyak 14 tempat; dialog ibu dengan anak sebanyak 2 tempat, dialog kedua orang tua dengan anak (tanpa nama) sebanyak 1 tempat.
Hal ini tentu sekali lagi melegitimasi pengasuhan anak dominan adalah ayahnya. Untuk itu, narasi-narasi untuk mengembalikan peran ayah dalam mendidik anak perlu diwacanakan. Salah satu hal yang dapat ditempuh adalah memperbanyak khotbah jum’at bertema parenting. Dalam sholat jum’at baik ayah maupun calon ayah berkumpul untuk mendengarkan khotbah.
Pada momen itulah yang dimanfaatkan guna memberikan edukasi dengan penyampaian yang tentu menarik dan update, sehingga jamaah tertarik untuk mendengarkan. Bukan sekadar disampaikan begitu saja, yang ada malah hanya akan mengundang kantuk jamaah. Bukan tanpa alasan mengapa hal ini coba ditawarkan, sebab pengalaman dalam membina salah satu Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Makassar dengan pertemuan orang tua santri (POS) tiap sebulan sekali, seringkali hanya dihadiri oleh pihak ibu.
Tak ada satu pun sosok ayah yang datang pada pertemuan tersebut.
Padahal pertemuan itu semacam kelas parenting. Pemateri-pemateri yang diundang pun tidak sembarangan. Jangan sampai kita menjadi ayah yang “gagal”, kata Ust. Bahtiar Natsir.
Kita banyak berhasil membesarkan badan anak kita, tetapi jiwa anak-anak kita diambil oleh orang lain, tandasnya. Jum’at (28/09) lalu saya juga mencoba menyurvei beberapa tema khotbah jum’at diberbagai mesjid di Makassar, saya melibatkan sekitar dua puluh teman untuk membantu saya memantau tema apa saja yang disajikan. Hasilnya tidak ada satupun khotbah bertema parenting.
Untuk itu, narasi khotbah parenting perlu dipertimbangkan, sebab ayah-ayah kita hanya sedikit yang ambil bagian dalam mendidik anak. Apalagi kini kita generasi milenial telah banyak menjadi orang tua. Oleh sebab itu, peran ayah harus lebih dimaksimalkan, dialog-dialog ayah dan anak harus terus diupayakan.
Sebab bukan tidak mungkin sebagian permasalahan bangsa ini bisa diselesaikan dengan turun tangannya ayah dalam mendidik anak-anaknya.Wallahu wallam bi sawwab.
Penulis : Muh. Taufiq Al-Hidayah (Demisioner Pengurus Lembaga Dakwah Kampus Al-Jami’ UIN Alauddin Makassar)
Editor : AR